Jumat, 03 Mei 2013

ORANG BERPENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA MASIH BANYAK YANG MENGANGGUR



BAB 1
PENDAHULUAN

    1.1.  Abstrak
        Pengertian pendidikan kalau ditinjau dari segi asal kata adalah, bahwa pendidikan itu berasal dari kata “Pedagogi” dimana kata tersebut berasal dari bahasa yunani kuno, yang kalau di eja menjadi 2 kata yaitu :
- Paid artinya=> anak
- Agagos artinya =>  membimbing
Dengan demikian pengertian pendidikan kalau ditinjau dari suku kata tersebut adalah cara atau ilmu untuk mengajar/membimbing anak.
      Pengertian penganguran adalah sebutan untuk suatu keadaan di mana masyarakat tidak bekerja. Menganggur adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dalam kurun waktu seminggu sebelum pencacahan dan sedang berusaha mencari pekerjaan dan ini mencangkup mereka yang sedang menunggu panggilan terhadap lamaran kerja yang di ajukan atau sedang tidak mencari kerja karena beranggapan tidak ada kesempatan kerja yang tersedia untuk dirinya walaupun dia sanggup.
      Masalah kependudukan yang serius dihadapi oleh negara berkembang pada umumnya, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat.
      Dengan kata lain sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi menghasilkan lulusan dengan tingkat kemandirian dan jiwa kewirausahawan yang rendah. Tingginya tingkat pengagguran dari lulusan perguruan tinggi difaktorkan juga karena skill kemampuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, lulusan perguruan tinggi tidak mempunyai keahlian apa pun dan tidak mampu bersaing di kanca pasar tenaga kerja. Dengan demikian perguruan tinggi yang melulusakan sarjana,diploma akan terus dipertanyakan.


   1.2.  Landasan Teori
      Menurut Jogiyanto (2005:1) adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu aturan tertentu. Sementara menurut Raymond McLeod dan George Schell (2004:9).
      Bila proses belajar mengajar dipandang sebagai sistem , maka subsistem-subsistemnya adalah bahan pelajaran, metode belajar mengajar, alat belajar/alat peraga/media belajar, lingkungan/iklim belajar, manajemen/administrasi kelas, para siswa/mahasiswa, pendidik, pengawas, dan evaluasi/umpan balik (Made Pidarta,2007:32-34).
      Menurut Keynes, pengangguran adalah hasil dari beberapa faktor yang diklasifikasikan sebagai struktural, musiman, siklikal, friksional, dan demand-deficient.
Menurut Dumairy Pengangguran adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan (masih atau sedang) mencari pekerjaan.
Berdasarkan perhitungan tingkat pengangguran, ternyata di wilayah pedesaan tingkat penganggurannya lebih rendah, dibandingkan dengan di perkotaan. Kemungkinan besar diakibatkan banyaknya migran pencari kerja dari pedesaan yang mencari kerja di kota (Nugraha Setiawan,2005).
      Jumlah penduduk memiliki hubungan yang positif dan kuat terhadap jumlah pengangguran, hal ini menunjukkan keterkaitan antara jumlah penduduk dan pengangguran sangat besar. Serta pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan positif dan cukup kuat terhadap pengangguran hal tersebut mengindikasikan adanya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran (Farid Alghofari, 2007).
      Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan adalah teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" yang lebih tinggi di banding sektor informal. Dengan demikian, keterbatasan lapangan pekerjaan akan berpotensi  tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja, secara linear berpotensi menggugat eksistensi dan urgensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan. Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka merembaknya isu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya juga di Indonesia.
      Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Menyikapi hal tersebut pakar-pakar pendidikan mengkritisi dengan cara mengungkapkan dan teori pendidikan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
      Maka hasil dari proses pendidikan yang jelas adalah harus adanya perubahasn sikap, tanggung jawab yang terjadi pada manusia. Perubahan-perubahan itu pun menyankut aspek jaasmani dan rohani manusia, Pendidikan menyadarkan manusia sebagai manusia yang sadar diri dan sadar lingkngan, Dengan itu manusia dapat memperbaiki lingkungan tanpa mengubah diri sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

    2.1.  Pembahasan
      Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak.
     Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran,
Karena tidak mampunyai untuk membuat lapangan pekerjaan yang begitu besar maka timbullah yang di sebut pengangguran . produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.jika peningkatan jumlah angkatan kerja di suatu negara tidak diimbangi dengan penimngkatan daya serap lapangan kerja Industrialisasi yang melanda berbagai negara berkembang selain menciptakan sederet keberhasilan , juga menimbulkan berbagai masalah yang cukup pelik, salah satu masalah pelik tersebut adalah masalah kesempatan kerja dan pengangguran.
 pengangguran terjadi karena kurangngnya kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang membutuhkan , Hampir semua  negara di dunia ini termasuk indonesia tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk menampung angkatan kerjanya, bukan hanya negara berkembang yang tidak mampu menyediakan lapangan kerjanya , tetapi juga negara negara maju seperti amerika
Kurangnya lapangan pekerjaan merupakan masalah yang harus di tangani dengan sungguh – sungguh. Alasannya bekerja atau tidak bekerjanya suatu hubungan langsung dengan kesempatan orang mencari nafkah . dengan bekerja seseorang dapat penghasilan untuk membiayai hidup dan keluarganya.

·         Jenis-Jenis Pengangguran
      Pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
1.      Pengangguran Terselubung (Disguissed Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak  bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu.
2.      Setengah Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.
3.      Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.

·         Penyebab Pengangguran
      Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguranadalah sebagai berikut:
1.      Besarnya Angkatan Kerja Tidak Seimbang dengan Kesempatan Kerja
Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang terjadi.
2.      Struktur Lapangan Kerja Tidak Seimbang
3.      Kebutuhan Jumlah dan Jenis Tenaga Terdidik dan Penyediaan Tenaga Terdidik Tidak Seimbang
Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia.
4.      Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Kerja Antar Daerah Tidak Seimbang
Jumlah angkatan kerja disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja, sedangkan di daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari suatu negara ke negara lainnya.

·         Akibat pengangguran

-Bagi perekonomian negara

1.      Penurunan pendapatan perkapita.
2.      Penurunan pendapatan pemerintah yang berasal dari sektor pajak.
3.      Meningkatnya biaya sosial yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.

-Bagi masyarakat

1.      Pengangguran merupakan beban psikologis dan psikis.
2.      Pengangguran dapat menghilangkan keterampilan, karena tidak digunakan apabila tidak bekerja.
3.      Pengangguran akan menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik.

·         Kebijakan-Kebijakan Pengangguran
      Adanya bermacam-macam pengangguran membutuhkan cara-cara mengatasinya yang disesuaikan dengan jenis pengangguran yang terjadi, yaitu sebagai berikut :
Cara mengatasi pengangguran struktural :
- Peningkatan mobilitasmodal dan tenaga kerja,
- Segera memindahkan tenaga kerja dari tempat sektor yang kelebihan ke tempat sektor ekonomi yang kekurangan,
- Mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk mengisi lowongan kerja yang kosong,

Cara mengatasi pengangguran friksional
- Perluasan kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-industri baru terutama yang bersifat padat karya,
- Menggalakkan debirokratisasi di berbagai bidang industri untuk merangsang timbulnya investasi baru,
- Pembukaan proyek-proyek umum oleh pemerintah seperti pembangunan jembatan raya, jalan raya, PLTU, PLTA, sehingga bisa menyerap tenaga kerja secara langsung maupun untuk merangsang investasi dari kalangan swasta.

2.2.  Berikut adalah contoh kasus dri pengangguran
      Pengangguran Terdidik Memprihatinkan,
Pada  awal tahun 2012 oleh Kementerian PPN/Bappenas, tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan dari 7,14 % menjadi  6,56 %. Hal yang menarik, tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan SLTA ke atas mengalami penurunan yang cukup nyata.
Penurunan nyata terlihat pada lulusan diploma, yakni turun dari 12,78 % menjadi  7,16 % dan sarjana dari 11,92 % menjadi  8,02 %.
      Namun jumlah ini, masih cukup memprihatinkan. Pasalnya, jumlah pengangguran terdidik masih di atas lima persen. Pengangguran dapat dikatakan kecil jika jumlahnya berada di bawah lima persen, dan ini masih menjadi fenomena yang menghawatirkan.
Hal ini menunjukkan ada yang salah dengan pengelolaan perekonomian dan pendidikan di Indonesia saat ini.
      Dengan adanya pengangguran terdidik, secara potensial dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, di antaranya timbulnya masalah-masalah sosial akibat pengangguran, pemborosan sumber daya pendidikan, dan menurunnya penghargaan serta kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan di negeri ini.
Tingkat pengangguran yang tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik, keamanan, sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Akibat jangka panjang adalah menurunnya
      Semoga ke depannya para lulusan perguruan tinggi negeri dan swasta mampu bertindak dan  berpikir secara kreatif dan inofatif sehingga mereka mampu menjawab tantangan dan perkembangan zaman di era yang serba menggunakan teknologi serta pengaruh globalisasi pada saat ini.
Indonesia mengalami krisis pendidikan dengan hasil pendidikan yang konsisten berada di peringkat bawah dalam beberapa riset internasional. Karena itu, pemerintah diminta untuk mengkaji secara serius dalam menemukan masalah mendasar yang terjadi antara kebijakan dengan praksis pendidikan di lapangan, termasuk di dalam ruang kelas.
Pendidikan Indonesia menghadapi tantangan untuk mampu menghasilkan lulusan yang mampu berpikir, bukan sekadar ingin cepat lulus dan mendapat gaji besar.

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
      Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok sesuai keputusan Komite Sekolah.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).       Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
         Indonesia mengalami krisis pendidikan dengan hasil pendidikan yang konsisten berada di peringkat bawah dalam beberapa riset internasional. Karena itu, pemerintah diminta untuk mengakaji secara serius dalam menemukan masalah mendasar yang terjadi antara kebijakan dengan praksis pendidikan di lapangan, termasuk di dalam ruang kelas.
Pendidikan Indonesia menghadapi tantangan untuk mampu menghasilkan lulusan yang mampu berpikir, bukan sekadar ingin cepat lulus dan mendapat gaji besar.
         "Hasil-hasil riset internasional yang penting seperti PISA dan TIMSS menunjukkan Indonesia konsisten di bawah dalam kemampuan siswa di bidang matematika, sains, dan membaca. Kenyataan ini seharusnya menumbuhkan sense of crisis kita soal pendidikan. Kita perlu meneropong apa yang terjadi di ruang kelas. Sebab, apa yang terjadi di lapangan adalah produk kebijakan pendidikan yang memang banyak bermasalah," kata Elin Driana, praktisi pendidikan yang mendalami bidang riset dan evaluasi di Jakarta, Minggu (28/1/2013).
         Persoalan tersebut dalam focus group discussion dengan topik "Wajah Pendidikan Indonesia" yang dilaksanakan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jakarta pekan ini. Ahmad Muchlis, pengajar Matematika di ITB, rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia dalam pendidikan sains dan matematika berimplikasi pada tataran individu dan kolektif.
"Dalam pengambilan keputusan memilih perangkat teknologi, mislanya, lebih memilih pada tampilan dan harga dibandingkan kegunaan, dan juga rentan terhadap isu atau rumor. Secara kolektif, terjadi ketergantungan teknologi, serta sulit memecahkan masalah kesehatan dan lingkungan," kata Ahmad.
Wayan Mesinario, alumni ITB yang bergerak di bidang enegeri dan sumber daya mineral (ESDM), mengatakan pendidikan Indonesia masih lemah dalam menghasilkan entrepreneur yang berilmu dan berionovasi yang mampu  menciptakan lapangan kerja. Padahal,  pemerintah melalui pendidikan bisa merencanakan kebutuhan peneliti profesional, pekerja, perencana, eksekutor, pemelihara, operator, dan entrepreneur.
         "Kami kesulitan mencari pelaku di bidang bisnis ESDM. Padahal potensinya luar biasa. Perguruan tinggi harus diarahkan untuk bisa menciptakan entrepreneur yang berilmu dan berinovasi, bukan sekadar berani jadi pekerja," kata Wayan.
Krisis bidang pendidikan yang dialami Indonesia ini dinilai juga akibat kondisi guru yang belum berkualitas. Apriliana, alumni ITB lainnya, mengatakan perbaikan pendidikan di Indonesia tidak menyasar pada fondasi utama yakni guru.
Saat ini, guru sudah tidak lagi menjadi hidden curriculum akibat kualitas penyiapan dan pendidikan guru yang memprihatinakan yang dimulai di tingkat dasar. Abah Rama, alumni ITB yang mendalami pemetaan talenta, mengatakan dari survei yang pernah dilakukan terhadap 1.400 guru di DKI Jakarta, hanya sekitar 25 persen yang bertalenta menjadi guru. "Jadi ada masalah dalam passion guru sendiri. Masalah ini perlu diperhatikan," kata Abah Rama.
Menurut Abah Rama, dalam pendidikan dewasa ini, kompetensi sikap memang yang terutama. Disusul keahlian dan pengetahuan, tergantung pekerjaannya. "Selanjutnya yang tak kalah penting dikembangkan kememapun untuk mengetahui talenta tiap orang, misal untuk mengetahui dalam menyiapkan pemimpin atau entrepreneur," ujarnya.
         Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan yang juga mantan Rektor ITB mengatakan pendidikan Indonesia menghadapi tantangan untuk mampu menghasilkan lulusan yang mampu berpikir, bukan sekadar ingin cepat lulus dan mendapat gaji besar. "Kondisi pendidikan di Indonesia memang disparitasnya besar. Kita juga menghadapi tantangan untuk mengembangkan sains, teknik, dan pertanian yang dapat mendorong kemajuan bangsa," kata Djoko.
Dalam kaitan dengan pendidikan guru, kata Djoko, pemerintah mendorong keras lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) untuk meningkatkan kualitas. "Guru kita sekarang ini mengalami krisis kehilangan 'keguruannya'. Menjadi guru lebih dianggap sebagai pekerjaan dibandingkan panggilan dari hati," kata Djoko.
         Banyak sekali yang sudah bahwa sistem pendidikan Indonesia saat ini belum bisa membuat generasi menjadi generasi yang bekualitas yang dan mampu bersaing dengan manusia lain kemudian menjaid manusia yang siap dipakai di kanca pasar tenaga kerja. Sebagian anak Indonesia berprestasi seharusnya tidak diragukan lagi. Tetapi perhatian pemerintah yang kurang dan segala kekurangan yang ada membuat pendidikan Indonesia tetap saja kurang.
         Seharusnya ini semua dapat dilakukan oleh setiap lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan seperti itu, Para pengajar yang memberikan pengajaran tentang bagaimana cara agar bisa menjadi lulusan yang siap pakai. Lembaga pendidikan yang tidak hanya megajarkan teori-teori tanpa memberikan praktik diluar lapangan. Lembaga pendidikan ini harus bisa menyamai perkembangan jaman yang membtuhkan tenaga kerja yang sesuai dengan perusahaan-perusahaan yang dibutuhkan.
         Sistem Indonesia juga tidak hanya membuat pengaturan-pengaturan yang memberatkan sebelah. Sistem harus bisa merata dan menguntungkan semua pihak terutama pihak para terdidik. Jika lembaga pendidikan tidak mengimbangi pasar tenaga kerja, maka pengangguran akan tetap semakin banyak yang lulusan sarjana, Dan sarjana hanya bisa menjadi title tanpa bisa mensukseskan lulusan itu sendiri.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
         Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.


BAB III
PENUTUP
    3.1. Kesimpulan
      Orang yang berpendidikan tinggi di Indonesia belum tentu menjamin orang tersebut mendapat pekerjaan yang layak atau sesuai dengan bidangnya. masih banyak sekali pengangguran dimana-mana. Mungkin bisa dibilang yang berpengangguran malah orang yang berasal mdari lulusan sarjana atau disebut juga dengan mahasiswa, tapi banyak juga orang yang tidak memiliki pekerjaan lantaran tidak berpendidikan ada yang tidak bersekolah karena alasan tidak memiliki biaya dan sebagainya.
      Tidak meratanya pendidikan yang diberikan pemerintah seperti di daerah-daerah terpencil, kemudian kurangnya fasilitas yag memadai untuk menunjang aktifitas pendidikan yang sedang berlangsung yang menyebabkan tidak kondusifnya proses pengajaran, sumber daya manusia yang kurang.
      Program pemerintahan di Indonesia terkadang hanya omong kosong seperti contohnya ketika akan diadakannya pemilu gubernur, presiden. Orang yang mencalonkan menjadi gubernur atau presiden itu pasti akan memberikan janji agar dirinya dipilih oleh warga Indonesia. Tapi ketika mereka telah menjadi sosok yang istilahnya telah diberi amanah mereka akan melupakan janji yang pernah diucapkan ketika mereka dicalonkan.


DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar