Jumat, 10 Mei 2013

Tugas Perekonomian Indonesia 3 Tema : Suku bunga perbankan dengan pemberian kredit khususnya usaha kecil dan menengah


Kredit Usaha Rakyat Di Era Otonomi Daerah

Abstrak
Peranan usaha kecil menengah, terutama sejak krisis ekonomi dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi nasional maupun penyerapan tenaga kerja, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala. Salah satu kendala yang dihadapi adalah dalam hal permodalan. Bagi usaha kecil menengah, kredit dirasa cukup penting meningkatkan kebutuhan untuk pembiayaan modal kerja diperlukan guna menjalankan usaha dan meningkatkan akumulasi pemupukan modal mereka. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah meluncurkan program pembiayaan bagi UMKM dan koperasi, yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui program bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah diberikan pemerintah, diharapkan dengan program ini para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki semangat untuk mengembangkan usahanya.
            Salah satu permasalahan utama usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) adalah kesulitannya mengakses kredit perbankan. Perbankan enggan memberikan kredit skala kecil kepada UMKM karena tingginya risiko kredit macet dan besarnya biaya pengelolaan kredit tersebut. Dalam hal ini perbankan menghadapai tingginya resiko dan biaya akibat masalah ketidaksamaan informasi (assymetric information problems) yang menyebabkan kesulitannya dalam menilai kelayakan kredit UMKM. Di sisi lain, ketidakmampuan UMKM menyediakan kolateral dan sistem akuntansi yang baik menyebabkan bank tidak mampu menilai tingkat pengembalian kredit mereka. Kegagalan pasar (market failure) dalam menyediakan kredit kepada UMKM ini mendorong pemerintah untuk memberikan berbagai skim kredit bersubsidi kepada UMKM, seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Kecil (KUK), dan sejak tahun 2007 Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program KUR telah menjadi strategi utama dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan pada Klaster 3, melalui pemberdayaan UMKM. Namun demikian, bagaimana kinerja KUR tersebut mampu mendorong kinerja UMKM masih menjadi pertanyaan besar. Pendekatan yang terlalu menekankan prinsip komersial/pasar (commercial-based approach) menyebabkan lambatnya proses penyaluran karena sangat mungkin hanya UMKM yang memiliki aset dan profitabilitas yang baik yang akan mendapatkan KUR. Dari sisi UMKM, keterbatasan informasi dan kendala sosial-budaya menyebabkan kesulitan untuk mengakses KUR melalui sistem Perbankan. Dalam konteks ini kelembagaan non-pasar, seperti peran Pemda dan komunitas berpotensi menjadi fasilitator bagi penyaluran KUR kepada UMKM. Studi ini bertujuan menganalisis kinerja program KUR untuk pemberdayaan UMKM melalui sinergi antara peran kelembagaan pasar, pemerintah (pusat dan daerah) dan komunitas dalam pengelolaan program. Semakin baiknya kinerja UMKM akan sangat membantu pemerintah dalam penaggulangan kemiskinan. Metodologi penelitian yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif terhadap variabel-variabel penting terkait dengan tata kelola KUR, kelembagaan pasar, kelembagaan pemda dan komunitas serta karakteristik UMKM.




BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional menempatkan manusia sebagai titik sentral sehingga mempunyai ciri-ciri dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam kerangka ini maka pembangunan nasional untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam semua proses pembangunan (Bappeda Bali, 2011). Pembangunan mengandung makna yang luas sebagai suatu proses multidimensi yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan lembagalembaga nasional maupun lokal dan juga akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan,dan pemberantasan kemiskinan (Todaro,2000). Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan nasional yang mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan oleh masyarakat dan pemerintah. Tujuan pembangunan tersebut harus diperjuangkan mengingat selama ini pembangunan diidentikkan dengan industrialisasi sehingga sering kali kurang memperhatikan aspek pemerataan (Gilarso, 1992). Perwujudan tujuan masyarakat yang adil dan makmur dapat berupa penciptaan lapangan kerja, pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan stabilitas nasional. Perwujudan tersebut sempat terhambat dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada saat krisis ekonomi, kondisi perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, banyaknya bank-bank yang
dilikuidasi, di sektor riil banyak usaha-usaha besar yang gulung tikar (Sugiyono,
2003).
            Kondisi yang berbeda terjadi pada usaha kecil menengah, dimana usaha kecil menengah tetap tegar pada saat krisis ekonomi melanda, dan memberikan kontribusi yang besar. Pada saat krisis ekonomi, usaha kecil menengah terbukti mampu menampung 99,45 persen dari total tenaga kerja atau 73,24 juta tenaga kerja (Marimbo, 2008). Peranan usaha kecil menengah, terutama sejak krisis ekonomi dapat dipandang sebagai katup pengaman dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi nasional maupun penyerapan tenaga kerja. (Suryadharma Ali, 2008) menyatakan bahwa usaha kecil menengah merupakan benteng pertahanan ekonomi nasional sehingga bila sektor tersebut diabaikan sama artinya tidak menjaga benteng pertahanan Indonesia.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan peranan serta kelembagaan usaha kecil menengah dalam perekonomian nasional, maka pemberdayaan tersebut perlu dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan Masyarakat secara menyeluruh, sinergis dan berkesinambungan. Untuk mewujudkan hal tersebut maka Pemerintahmengesahkan UU No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Undang-undang ini disusun dengan maksud untuk memberdayakan usaha mikro kecil dan menengah.
Kebijakan pemerintah dewasa ini telah cukup menunjukkan keberpihakan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Banyak upaya dan langkahlangkah pemerintah menyangkut pemberdayaan pada UMKM, pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi untuk membantu UMKM baik menyangkut peningkatan SDM, permodalan maupun akses pasar. Melihat persoalan yang dihadapi UMKM, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan kredit bagi UMKM dan Koperasi dengan pola penjaminan oleh Presiden RI tanggal 5 November 2007 di lantai 21 gedung kantor pusat BRI dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Peluncuran KUR
merupakan upaya pemerintah dalam mendorong perbankan penyaluran kredit
pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi. Kebijakan pemerintah di dalam pengembangan Pemerintah Daerah atau otonomi daerah membuat UMKM lebih diperhatikan oleh pemerintah daerahnya, karena salah satu syarat utama untuk menjadi otonomi adalah bahwa daerah yang bersangkutan harus mempunyai pendapatan daerah yang cukup untuk membiayai roda perekonomian. Ini berarti perlu kegiatan-kegiatan atau lembaga-lembaga ekonomi lokal, termasuk UMKM yang akan memberikan kontribusi pada pendapatan daerah. Jadi peran UMKM di daerah tidak saja sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk menghilangkan kesenjangan pendapatan atau pembangunan antar wilayah, melainkan juga sebagai alat pengembangan otonomi daerah.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (UU Perbankan nomor 10 tahun 1998 dalam Kasmir, 2007 : 92). Menurut Gilarso (1992 : 246) kredit adalah pemberian uang, barang atau jasa kepada pihak lain, tanpa menerima imbalan (pembayaran) langsung atau bersamaan tetapi dengan percaya bahwa pihak yang menerima uang atau barang tersebut akan mengembalikan atau melunasi hutangnya sesuai jangka waktu tertentu. Menurut Undang-undang no. 14 Tahun 1967 Pasal 1c, mengenai pokok-pokok perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain. Dalam hal mana, pihak peminjam berkewajiban melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditentukan. Menurut Kasmir (2007 : 94), unsur-unsur yang terkandung dalam
pemberian suatu fasilitas kredit yaitu.
1) Kepercayaan
Kepercayaan dari si pemberi kredit bahwa kredit yang diberikannya (berupa uang, barang atau
jasa) akan benar-benar diterima kembali di masa tertentu di masa yang akan datang.
2) Kesepakatan
Kesepakatan dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak  menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
3) Jangka waktu
Suatu masa yang memisahkan antara pemberi kredit dengan penerima kredit yang mana dana tersebut akan diterima pada masa yang akan datang. Jangka
waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati, biasa berbentuk jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
4) Resiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu resiko tidak tertagihnya atau macetnya pemberian kredit. Suatu resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari jangka waktu yang memisahkan antara pemberi kredit dengan penerima kredit yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama jangka waktu pemberian kredit, maka semakin besar tingkat resikonya. Dengan adanya resiko dalam pemberian kredit, maka dapat menimbulkan jaminan dalam pemberian kredit.
5) Balas Jasa
Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang dikenal dengan nama bunga.

Pendapat (Kasmir, 2007 : 95) tujuan pemberian kredit tidak terlepas dari misi pendirian suatu bank. Adapun tujuan utama pemberian kredit yaitu.
1) Mencari keuntungan
    Tujuannnya untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut.
2) Membantu usaha nasabah
Tujuannya untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi  maupun dana untuk modal kerja.
3) Membantu pemerintah
Bagi pemerintah, semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor. Kemudian disamping tujuan tersebut, suatu fasilitas kredit memiliki fungsi sebagai berikut:
(1) Untuk meningkatkan daya guna uang.
(2) Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.
(3) Untuk meningkatkan daya guna barang.
(4) Meningkatkan peredaran barang.
(5) Sebagai alat stabilitas ekonomi.
(6) Untuk meningkatkan kegairahan usaha.
(7) Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan.
(8) Untuk meningkatkan hubungan internasional.







BAB II
Pembahasan

1.1. Pembahasan
            Harus diakui bahwa UKM merupakan potensi yang sangat dan strategis dalam perekonomian nasional. Karena selain memiliki jumlah yang besar, UKM juga menyebar hingga ke pelosok pedesaan. Dari segi kuantitatif, jumlah pelaku usaha di Indonesia pada tahun 2001 mencapai 40.197.611 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 99,86 persen di antaranya adalah usaha kecil (40.137.773), di mana 97,6 persen di antaranya adalah usaha mikro. Sedang jumlah usaha berskala menengah sebanyak 57.743 atau 0,14 persen, dan usaha besar hanya 0,005 persen atau berjumlah 2.095 saja (BPS 2001).
            Kontribusi UKM juga amat jelas.  Usaha kecil, dan menengah yang jumlahnya dominan tersebut mampu meyediakan 99,04 persen lapangan kerja.  Demikian halnya sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto  (PDB)  Non Migas, cukup meyakinkan yaitu sebesar 63,11%.  UKM juga memberikan kontribusi pada ekspor non migas sebesar 14,20% (BPS 2001).  Hal ini berarti pada sektor-sektor dimana terbuka bagi masyarakat luas UKM mempunyai sumbangan nyata.  Sehingga kemampuan untuk melahirkan percepatan pemulihan ekonomi akan ikut ditentukan oleh kemampuan menggerakkan UKM.
            Di sisi lain UKM jga menghadapi berbagai permasalahan yang cukup krusial.  Secara spesifik setidaknya terdapat empat permasalahan eksternal, yang merupakan problem klasik yang dihadapi UKM.  Keempat permasalahan internal tersebut adalah :  (1)  terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset produksi, terutama permodalan;  (2)  rendahnya kemampuan SDM;  (3)  ditinjau dari konsentrasi pekerjaan sumberdayanya, pengembangannya terhambat oleh konsentrasi rakyat di pedesaan yang bergerak pada sektor pertanian; (4)  kelembagaan usaha belum berkembang secara optimal dalam penyediaan fasilitas bagi kegiatan ekonomi rakyat.
            Beberapa problem lain yang juga tak kalah seriusnya, antara lain, mekanisme perencanaan dari atas ke bawah yang tidak efektif untuk mengatasi detail-detail problematika faktual yang dihadapi UKM;  perumusan program yang tidak terkait dengan pra kondisi dasar pemberdayaan ekonomi rakyat (yakni mentalitas enterpreneurship);  masih adanya kelompok-kelompok kepentingan di lingkaran kekuasaan; hingga jaring krupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih kuat.
            Sejak krisis moneter muncul, dan kemudian diikuti krisis ekonomi lebih luas, dampak tidak menyenangkan dialami pula di sektor UKM.  Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut, antara lain :  (1)  tingginya bunga kredit, sehingga suplai kredit berkurang, berakibat pada kurang terbukanya sektor produksi :  (2)  tingginya biaya impor bahan baku dan suku cadang, yang mengakibatkan meningkatnya biaya produksi, sehingga keperluan modal kerja meningkat:  (3)  tingginya biaya untuk permesinan, peralatan, dan suku cadang, yang berkaitan dengan teknologi:  (4)  cash flow terganggu akibat lambatnya pembayaran utang:  (5)  nilai tukar mata uang asing yang masih volatile, meningkatkan resiko transaksi antarnegara.

            Rintangan-rintangan di atas, bagaimanapun menghalangi pembentukan kelas wirausaha yang bebas mendirikan perusahaan mereka sendiri.  Perusahaan kecil dan menengah sering tampak sebagai usaha sia-sia dan nirlaba.  Padahal, aktivitas wirausaha dibutuhkan untuk membangun sebuah kekuatan ekonomi berbagai luas.  Ada hubungan kuat antara eksistensi kelas wirausaha yang kokoh dengan sebuah kondisi ekonomi yang beragam, dan keduanya berpadu untuk untuk menciptakan ekonomi nasional yang lebih ulet, menghadaoi perilaku pasar internasional, yang tidak selalu dapat dipastikan, dan berkemampuan menyediakan kesempatan pekerjaan yang lebih besar dengan biaya lebih murah.
            Pemerintah di berbagai negara, pada umumnya mendukung UKM.  Hal tersebut dilakukan mengingat kontribusinya yang signifikan atas lapangan kerja, inovasi dan pertumbuhan.   Dukungan pemerintah tersebut bertujuan memajukan sektor UKM, agar bergairah dan tumbuh secara dinamis.  Namun demikian, biasanya dukungan pemerintah terhadap UKM tersebut, tidak berjalan secara optimal.
            Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan peran negara kurang memuaskan dalam pemberdayaan UKM.  Pertama, relevansi pembinaan jasa berlandaskan pandangan sempit tentang kebutuhan UKM, yaitu lebih banyak ditentukan dari sisi pemberian layanan  (supply driven)  dan bukan karena pengetahuan tentang apa yang diperlukan UKM. Kedua, jangkauan sasaran terbatas.  Hal ini disebabkan oleh ketergantungan pada subsidi dan ketentuan jenis bantuan pemerintah terhadap UKM.  Akibatnya jumlah perusahaan yang menerima bantuan menjadi terbatas, terutama oleh jumlah dana yang dianggarkan pemerintah dan sifat mekanisme pemberian bantuan, akibanya fatal ketika bantuan dana dihentikan atau seringkali hanya berlaku untuk sekali saja.
            Suatu strategi realistik dengan kinerja tinggi dan ekonomis untuk menciptakan jasa pengembangan usaha (BDS), setidaknya harus didasarkan pada tiga tiang utama: Pertama, harus diciptakan kondisi untuk menggairahkan pengembangan sektor swasta.  Sektor swasta bagaimanapun memerankan peran yang signifikan bagi pengembangan UKM, oleh karenanya pemerintah harus mengkondisikan iklim usaha yang kondusif yang berdampak positif bagi pasar dan bisnis.  Kedua, pengembangan pasar BDS yang semakin diprioritaskan.  Artinya pola penyediaan jasa BDS yang berdasar pada ketersediaan dan subsidi pemerintah, harus digeser ke arah pola yang mengembangkan  lingkungan pasar yang efektif, sehingga memungkinkan penyediaan BDS.  Ketiga, upaya mengembangkan pasar BDS swasta seyogyanya dilengkapi dengan pengurangan dan rasionalisasi keterlibatan sektor pemerintah.  Pengurangan peran konvensional pemerintah dalam penyediaan jasa didorong dengan cara memperketat aturan pengembalian ongkos (cost recovery) BDS agar program ini bisa berlanjut secara finansial, menggunakan sektor swasta untuk menyalurkan BDS yang didanai pemerintah, dan melakukan evaluasi lebih ketat terhadap dampak yang terkait dengan alokasi anggaran untuk BDS.  Rasionalisasi pengucuran dana pemerintah untuk BDS dapat diikuti dengan swastanisasi program yang telah sepenuhnya mencapai cost recovery.

            Dalam konteks penyedia jasa BDS,  setidaknya harus diperhatikan dua hal:  selayaknya bersikap sebagaimana pelaku pasar lainnya dan mengikuti permintaan pasar (market oriented);  sebaiknya memfokuskan diri pada bidang yang benar-benar dikuasainya.  Bagaimanapun, tampaknya, jasa bisnis menjadi semakin penting di semua negara.  Di negara maju separuh dari angka pertumbuhan GDP diperoleh dari jasa bisnis, sedangkan di negara berkembang sekitar sepertiga, dan jasa bisnis merupakan bidang dengan pertumbuhan tertinggi di negara industri.  Hal tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya keberadaan jasa bisnis (di tengah lingkungan global dan lokal yang makin kompleks dan kompetitif) sebagai penambah nilai pada komoditi, barang dan proses makin diakui, sehingga memungkinkan perusahaan bersaing lebih efektif, dapat mengakses pasar baik yang ada maupun yang baru dan beroperasi dengan lebih efisien.
            Dalam rangka pengembangan BDS itu sendiri diperlukan intervensi secara langsung, terutama dari pemerintah dan donor, sebagai upaya menghadapi kendala institusional-fundamental dan guna mengembangkan pasar secara efektif.  Hal ini terkait dengan hambatan khas UKM dan respon intervensinya secara tepat.
            Strategi pengembangan BDS dalam konteks pengembangan UKM, sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya merupakan embrio atas konsep klaster bisnis.  Konsep klaster bisnis, yang dimaksud dalam hal ini, setidaknya merupakan pendekatan baru, yang membedakan dengan kebijakan-kebijakan lama (konvensional).  Dengan demikian, sesungguhnya, klaster bisnis bisa berkembang, dengan tidak harus melibatkan intervensi langsung pemerintah dan lembaga donor dalam konteks pengembangan UKM yang memang sudah seharusnya berorintasi bisnis.

1.  Teknologi untuk Pengembangan UKM
            Globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia telah membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan di seantero dunia, terutama negara-negara sedang berkembang, dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan tingkat kompetitifnya.  Namun demikian, agaknya bagi UKM masih terdapat kesulitan untuk mengakses, memanfaatkan, dan menguasai teknologi.  Padahal dengan atau akuisisi teknologi (technology acquisition) secara baik, akan didapatkan efektivitas dan efisiensi dalam soal waktu, biaya, dan resiko, terutama dalam mengembangkan perusahaan UKM yang profesional.  Akuisisi teknologi merentang dalam berbagai bentuk, mulai dari aspek pembelanjaan (purchases), franchising, licensing, hingga aliansi strategis antara perusahaan dengan pihak yang menguasai program-program teknologi dalam konteks transfer teknologi.  Namun demikian, efektivitas transfer teknologi, tidak saja bergantung pada aksesbilitas dan hal-hal yang terkait dengan penguasaan teknologi semata, namun juga harus melihat kondisi permintaan lokal (local demand condition) dan kemampuan untuk menentukan skala prioritas teknis pembangunan dan kemampuan manajerial, yang mampu menyerap dan mengelola implementasi penguasaan teknologi tersebut.
            Penguasaan teknologi, terkait dengan segala aspek yang menyertai pengembangan UKM, dari mulai pengadaan bahan baku, pengolahan dan peningkatan mutu produk, distribusi, dan kelayakan atas kondisi pasar yang ada.  Dengan demikian, diharapkan UKM akan semakin efektif dan efisien, memenuhi kebutuhan skala lokal, bahkan jika memungkinkan juga kebutuhan dalam skala internasional.
            Rintangan klasik dalam upaya penguasaan teknologi adalah kurangnya kapasitas lokal dan keahlian untuk menyeleksi, memperoleh, mengadaptasi, dan mengasimilasi teknologi, seiring dengan keterbatasan dan kekurangan sarana finansial, sebagaimana pula dalam penguasaan informasi.  Tidak banyak UKM yang telah memiliki kapasitas jaringan dan monitoring yang memungkinkan mereka untuk mampu mengakses informasi secara baik.  Padahal, biasanya UKM bisa menentang kehadiran resiko lebih parah, bila mereka mampu melakukan inovasi-inovasi yang didasarkan pada teknologi baru.
            Walaupun memiliki keterbatasan, format baru yang dikembangkan dengan memakai teknologi yang tepat, merupakan awal yang baik bagi tumbuhnya pendapatan yang akan diperoleh perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.  Gambaran umum atas format baru yang dimaksud, terkait dengan kemampuan untuk mengembangkan produk-produk baru, dengan melibatkan teknologi dan proses-proses yang terkait dengannya, atau dengan memproduksi dan memasarkan produk baru tersebut.
            Dalam konteks penguasaan bio-teknologi dan informasi pengembangan teknologi terbaru, diperlukan kerjasama antara perusahaan-perusahaan UKM lokal dengan perusahaan-perusahaan asing (foreign firms) yang berkembang dalam konteks hubungan antar-negara Utara-Selatan (North-South) dan Selatan-Selatan (South-South).  Kerjasama dan pengembangan jaringan antara perusahaan dan lembaga riset dan teknologi antara Selatan dan Utara-Selatan telah menjadi hal yang menggejala.  Contoh yang baik dalam konteks ini, misalnya tipe jaringan (network) yang dikembangkan oleh Agricultural Research and Extension Network (RDFN), dan Cassava Biotechnology Network (CBN).
            Peran pemerintah dalam hal ini amatlah signifikan.  Pemerintah sebagai fasilitator, memungkinkan untuk menciptakan situasi kondusif bagi pengembangan dan penguasaan teknologi, serta merangsang pelbagai inovasi atas penguasaan teknologi tersebut, serta yang utama ialah menumbuhkan semangat belajar untuk menguasai teknologi baru yang berkembang demikian cepat.  Kendalanya, selama ini berbagai perusahaan dengan tingkat yang berbeda-beda mencoba mempelajari sendiri penguasaan teknologi, sehingga hasilnya adalah kesulitan untuk menetapkan strategi inovasi.  Dalam konteks ini unsur fleksibilitas memang penting, terutama dalam konteks kebijakan yang dinamis.  Dibutuhkan interaksi antara penentu kebijakan dengan aktor UKM dalam mengembangkan proses pengembangan UKM berbasis teknomogi yang terkati erat dengan investasi dan pemasaran.
            Dalam menata dan mengembangkan kapabilitas lokal untuk mentransfer teknologi dan inovasi, dibutuhkan kolaborasi, jaringan, dan klaster-klaster.  Hal ini memungkinkan perusahaan UKM untuk memperhitungkan tingkat resiko dan biaya, dalam mengakses pasar, baik yang terkait dengan perusahaan kecil, sedang (menengah), dan besar, juga dalam konteks tukar-menukar informasi (sebagai contoh, dalam hal pengembangan teknologi dan pemasaran produk-produk alami) serta hubungan komersial.  Dengan demikian, sesungguhnya UKM amat potensial untuk berpartisipasi atau terlibat dalam pasar internasional yang demikian kompetitif.

Struktur pendukung teknis dan komersial, semisal laboratorium litbang, pusat transfer teknologi, fasilitas kontrol kualitas, dan agensi promosi ekspor, haruslah dikembangkan secara seksama.  Demikian pula menyoal penciptaan desain dalam memperoleh dan memanfaatkan informasi atas jasa teknologi, kaitannya dengan pengembangan UKM. Dukungan atas struktur teknis dan komersial di atas, memerlukan identifikasi atas kebutuhan, kesesuaian, adaptasi, dan aspek follow-up-nya dalam konteks post-transfer teknologi. Dalam hal ini, masing-masing negara berkesempatan untuk mengembangkan UKM dengan selalu memperhatikan perkembangan teknologi yang ada, tentu saja bila tak mau ketinggalan dengan yang lain.
            Teknologi informasi dan telekomunikasi telah merambah ke semua sektor ekonomi, termasuk di dalamnya komoditi primer, manufaktur, dan jasa.  Pentingnya penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi makin dirasakan manfaatnya, terutama dalam mengantisipasi perkembangan dan kompetisi usaha yang makin dinamis.  Teknologi informasi dan telekomunikasi memberi kesempatan pada perusahaan untuk memperoleh informasi signifikan bagi upaya mengembangkan usahanya, dan sebagai akibatnya bisa dicapai optimalisasi efektivitas dan efisiensi usaha.  Diakui perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, memicu upaya-upaya efektivitas dan efisiensi usaha, dan dengan demikian manfaatnya bagi perusahaan, tak saja mereka tetap eksis dan bertahan, melainkan diharapkan mampu melakukan inovasi dan langkah-langkah maju.
            Beberapa negara telah merambah industri teknologi informasi dan telekomunikasi, semisal Cina, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan.  Dan tampaknya pasar teknologi informasi dan telekomunikasi masih amat lebar, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi yang ada.  Yang kini tengah menjadi fenomena adalah kehadiran internet, yang dirasakan sebagai sarana revolusioner dalam memecahkan jarak dan waktu, dengan demikian efisien dan murah.  Walaupun fenomena internet telah mewabah, di Indonesia kesadaran atas penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi bagi pengembangan UKM masih perlu ditumbuhkan.  Tidak hanya kesadaran saja tetapi juga penguasaan dan pemanfaatan yang seoptimal mungkin, dalam konteks membangun jaringan, mengakses pasar, dan memperoleh informasi dab hal-hal yang merangsang inovasi.
            Internet, bagaimanapun, merupakan sarana bagi negara-negara sedang berkembang untuk untuk bisa bekerjasama dan mengakses infrastuktur informasi global.  Meskipun tingkat pertumbuhan pengguna atau pemanfaat internet diperkirakan makin meningkat dan cukup tinggi, agaknya masih saja yang optimal memanfaatkan masih terkonsentrasi di negara-negara industri maju.  Banyak data yang setidaknya membuktikan bahwa sekitar 90 persen pengguna internet adalah dari kalangan berpendidikan tinggi yang jumlahnya terbatas.  Dan, agaknya akses ke teknologi informasi dan telekomunikasi di negara-negara berkembang atau negara-negara dalam transisi penguasaan teknologi, masih diliputi keterbatasan-keterbatasan.  Sebagai catatan misalnya, pada tahun 1998 pengguna internet di Paraguay, India, dan Filipina hanya 0,01 persen dari total populasi;  Taiwan, Korea Selatan, dan Kuwait 2-2,5 persen; Perancis 6,5 persen; Jepang 9,6 persen; Australia 18 persen; dan Finlandia 35 persen.

            Dengan penguasaan dan pemanfaatan yang optimal akan teknologi informasi dan telekomunikasi, UKM berkesempatan untuk memenangkan kompetisi ekonomi global, terutama dari sudut penguasaan informasi.  Mereka terpacu untuk meningkatkan kualitas produk berdasarkan standar internasional, serta membangun aliansi strategis dan hubungan kerjasama silang (cross-border partnership) antar perusahaan di berbagai negara.  Pemanfaatan internet secara optimal juga mampu menekan biaya yang signifikan bagi UKM, terutama dalam mengiklankan (advertises) dan mempromosikan produk0produk dan kontak antara buyers dan suppliers dalam tingkat global.
Penguasaan infrastruktur  teknologi informasi dan telekomunikasi tampaknya telah menjadi kebutuhan utama, dalam konteks pengembangan UKM.  Maka keahlian dalam bidang penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi, amat mendesak untuk dilakukan, bahkan telah menjadi keharusan.  Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: kemampuan untuk mengakses infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi; kemampuan untuk mengembangkan teknik-teknik e-commerce; kemampuan untuk menginformasikan produk-produk yang dikembangkan dalam model-model bisnis yang ada; dan sebagainya.
            Penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi amat bermanfaat bagi pengembangan internal perusahaan, serta keperluan inter connections dengan pasar dan suppliers. Penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas pada kapabilitas teknis, tetapi juga, yang lebih penting lagi adalah, kaitannya dengan efektifvitas perencanaan dan kemampuan organisasional.  Pemerintah, sebagai pihak fasilitator, sudah selayaknya membantu mengembangkan infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi, dan juga menciptakan berbagai aturan kebijakan yang konstruktif dan merangsang inovasi serta berkepentingan untuk memasyarakatkan penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi bagi pengembangan UKM.

2. Eksistensi Jasa Finansial dan Keterbatasannya
            Berikut ini akan dijelaskan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan jenis-jenis jasa finansial serta beberapa hal yang melingkupinya, antara lain :
a. Sektor Jasa Finansial Formal
Sektor jasa finansial formal, terutama bank-bank komersial, menunjukkan kesukaran dalam menumbuhkan UKM dalam akses penguasaan modal (kapital) :
· Laba yang sedikit atau tak ada sama sekali, bila berurusan dengan sektor UKM;
· Merupakan pasar yang tidak komplet (incomplete market) untuk instrumen finansial, khususnya untuk hutang jangka panjang;
· Membutuhkan waktu lama, dari lamanya negosiasi dan prosesnya hingga disetujui (approval)
· Respom yang lambat dalam mengubah kebutuhan hak-hak lingkungan berubah;
· Produk-produk finansial yang berorientasi non pelanggan (non-customized); dan
· Jasa-jasa untuk kebutuhan individual UKM.

b.  Sektor Jasa Finansial Informal
            Pembiayaan informal ternyata telah memainkan peran dan pengaruhnya yang luas dalam soal financing bagi UKM di negara-negara sedang berkembang.  Termasuk dalam hal ini antara lain modal dari para pemberi hutang individual (individual moneylenders), tabungan bersama (mutual savings), dan asosiasi pemberi pinjaman, dan perusahaan-perusahaan mitra (partnership firms).  Sektor jasa finansial informal dicirikan oleh :
·  Adanya fleksibilitas (keluwesan) dan kecepatan (speed0;

·  Memerlukan biaya-biaya transaksi yang tinggi atau bersifat high transaction costs.

· Tingkat bunga yang melebihi rata-rata;

· Pinjaman berskala kecil dalam jangka waktu pendek;

· Pengembalian hutang yang tinggi bagi peminjam yang mengandalkan prosedur tertutup, ketelitian dalam memonitor para peminjam yang mengandalkan kedekatan dengan para peminjam, dan adanya tekanan pada unsur ketelitian.

c.   Pemisahan atas lembaga finansial dan bank-bank pembangunan (development bank)

Banyak negara yang telah mapan (established) memisahkan lembaga finansial mereka dalam menyediakan kredit khusus bagi UKM dan bank pembangunan, dicirikan oleh :
· Kecilnya kemampuan menghasilkan laba (poo profitability);
· Biaya administrasi yang tinggi;
· Ekspansi horisontal atas jasa-jasa, termasuk asistensi teknikal, pelatihan, dan sebagainya;
· Ekspansi jasa-jasa termasuk pinjaman-pinjaman dari perusahaan besar;
· Ketergantungan pada subsidi pemerintah, pembubaran (dissolution) atau likuidasi (liquidation).

d.  Skema penjaminan
            Beberapa lembaga finansial internasional dan pemerintah yang memiliki skema garansi (penjaminan) yang mapan (established) telah mampu mendorong bank-bank komersial meminjamkan dananya untuk pengembangan UKM.  Dengan premi 1 sampai 3 persen akan tergaransi  hingga 80 persen.  Pengalaman atas skema penjaminan bagi UKM, menunjukkan masih banyak yang gagal dan sedikit yang sukses.  Salah satu problem utamanya adalah persoalan kesinambungan aktivitas yang dijalankan, yang memakan waktu lama, apalagi setelah memperoleh dana dari pemerintah dan lembaga donor.  Dalam banyak kasus UKM yang telah memperoleh dana pinjaman untuk investasi, ternyata tidak bisa memanfaatkannya dengan baik, dengan demikian hal ini menumbuhkan tingkat resiko yang tinggi bagi penjaminnya.  Oleh karena itu kekawatiran akan terjadinya moral haaid, sehingga dalam pelaksanaannya perlu berhati-hatian yang tinggi dan tidak menjadi informasi yang terbuka bebas.

e.  Leasing
            Leasing finansial adalah sebuah persetujuan kontrak di mana UKM dapat memanfaatkan aset yang ada dengan membayar sewa yang ditetapkan.  Biasanya karena perusahaanleasing yang memiliki aset, maka uang sewa yang diberikan lebih dianggap sebagai biaya operasi ketimbang financing charge.  Perusahaan leasing biasanya pula menekankan agar UKM mampu mengelola cash flownya.  Biasanya mereka mencadangkan 10 persen untuk biaya kemanan, dan akan berakhir setelah 3 hingga 5 tahun.  Leasing, bagaimanapun merupakan salah satu cara bagi UKM untuk memecahkan problema kebutuhan modal jangka menengah.  Biasanya UKM di negara-negara sedang berkembang menggantungkan keuntungan mereka pada penggunaan (atas manfaat) transfer teknologi yang ada, sehingga banyak membutuhkan kebutuhan finansial jangka menengah.

f.  Dana Modal Ventura (Venture capital funds)  
            Dana modal ventura adalah sebuah mekanisme investasi yang terdiri dari modal equity dan asistensi manajerial untuk menumbuhkan perusahaan.  Sebagai target perusahaan untuk mengembangkan produk-produk dan jasa-jasa  baru, penyedia-penyedia modal ventura melakukan tugasnya dengan mengatasi kendala-kendala biaya UKM.





BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
            Dengan pendekatan ini diharapkan ini diharapkan akan terbentuk sebuah komunitas dalam pengembangan UKM, dalam bentuk asosiasi, perhimpunan atau dalam bentuk organisasi yang lain.  Karena sifatnya pembinaan maka lembaga ini merupakan lembaga nonprofit yang terdiri dari para stakeholder UKM yang melakukan.
            Perlu diingat bahwa tiga pilar keberhasilan penopang dinamika klaster adalah adanya dukungan non finansial, dukungan finansial untuk penggerak (USP/KSP), dan adanya asosiasi atau lembaga yang menjadi representatif/perwakilan mereka.  Kesemuanya itu akan bekerja dalam klaster, yang didukung oleh jaringan sistem informasi yang menjadi instrumen penting, dalam penyelesaian kegiatan-kegiatan yang ada.
            Karena itu proses pengembangan UKM akan berjalan baik apabila berlanjut menjadi lembaga swasta murni, dengan pendekatan pasar.  Hal ini dilakukan agar fungsi kelembagaan pembinaan UKM di dalam klaster berfungsi secara lebih efisien dan efektif dengan menjalankan prinsip saling menguntungkan.  Adapun untuk pengembangan selanjutnya dapat dilakukan dengan replikasi terhadap sentra-sentra yang telah ada.



DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar