Kredit
Usaha Rakyat Di Era Otonomi Daerah
Abstrak
Peranan
usaha kecil menengah, terutama sejak krisis ekonomi dapat dipandang sebagai katup
penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju
pertumbuhan ekonomi nasional maupun penyerapan tenaga kerja, namun masih
menghadapi berbagai hambatan dan kendala. Salah satu kendala yang dihadapi
adalah dalam hal permodalan. Bagi usaha kecil menengah, kredit dirasa cukup
penting meningkatkan kebutuhan untuk pembiayaan modal kerja diperlukan guna
menjalankan usaha dan meningkatkan akumulasi pemupukan modal mereka. Untuk
mengatasi masalah tersebut pemerintah meluncurkan program pembiayaan bagi UMKM
dan koperasi, yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui program bantuan Kredit
Usaha Rakyat (KUR) yang telah diberikan pemerintah, diharapkan dengan program
ini para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki semangat untuk mengembangkan
usahanya.
Salah satu permasalahan utama usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM) adalah kesulitannya mengakses kredit
perbankan. Perbankan enggan memberikan kredit skala kecil kepada UMKM karena
tingginya risiko kredit macet dan besarnya biaya pengelolaan kredit tersebut.
Dalam hal ini perbankan menghadapai tingginya resiko dan biaya akibat masalah
ketidaksamaan informasi (assymetric information problems) yang menyebabkan
kesulitannya dalam menilai kelayakan kredit UMKM. Di sisi lain, ketidakmampuan
UMKM menyediakan kolateral dan sistem akuntansi yang baik menyebabkan bank
tidak mampu menilai tingkat pengembalian kredit mereka. Kegagalan pasar (market
failure) dalam menyediakan kredit kepada UMKM ini mendorong pemerintah untuk
memberikan berbagai skim kredit bersubsidi kepada UMKM, seperti Kredit Usaha
Tani (KUT), Kredit Usaha Kecil (KUK), dan sejak tahun 2007 Kredit Usaha Rakyat
(KUR). Program KUR telah menjadi strategi utama dalam kebijakan penanggulangan
kemiskinan pada Klaster 3, melalui pemberdayaan UMKM. Namun demikian, bagaimana
kinerja KUR tersebut mampu mendorong kinerja UMKM masih menjadi pertanyaan
besar. Pendekatan yang terlalu menekankan prinsip komersial/pasar
(commercial-based approach) menyebabkan lambatnya proses penyaluran karena
sangat mungkin hanya UMKM yang memiliki aset dan profitabilitas yang baik yang
akan mendapatkan KUR. Dari sisi UMKM, keterbatasan informasi dan kendala
sosial-budaya menyebabkan kesulitan untuk mengakses KUR melalui sistem
Perbankan. Dalam konteks ini kelembagaan non-pasar, seperti peran Pemda dan
komunitas berpotensi menjadi fasilitator bagi penyaluran KUR kepada UMKM. Studi
ini bertujuan menganalisis kinerja program KUR untuk pemberdayaan UMKM melalui
sinergi antara peran kelembagaan pasar, pemerintah (pusat dan daerah) dan
komunitas dalam pengelolaan program. Semakin baiknya kinerja UMKM akan sangat
membantu pemerintah dalam penaggulangan kemiskinan. Metodologi penelitian yang
digunakan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif terhadap variabel-variabel
penting terkait dengan tata kelola KUR, kelembagaan pasar, kelembagaan pemda
dan komunitas serta karakteristik UMKM.
BAB
I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pembangunan
nasional menempatkan manusia sebagai titik sentral sehingga mempunyai ciri-ciri
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam kerangka ini maka pembangunan
nasional untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam semua proses pembangunan
(Bappeda Bali, 2011). Pembangunan mengandung makna yang luas sebagai suatu
proses multidimensi yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur
sosial, sikap-sikap masyarakat dan lembagalembaga nasional maupun lokal dan
juga akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan,dan pemberantasan
kemiskinan (Todaro,2000). Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan nasional yang mencakup
seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan oleh masyarakat
dan pemerintah. Tujuan pembangunan tersebut harus diperjuangkan mengingat
selama ini pembangunan diidentikkan dengan industrialisasi sehingga sering kali
kurang memperhatikan aspek pemerataan (Gilarso, 1992). Perwujudan tujuan
masyarakat yang adil dan makmur dapat berupa penciptaan lapangan kerja,
pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi
dan mewujudkan stabilitas nasional. Perwujudan tersebut sempat terhambat dengan
adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada
saat krisis ekonomi, kondisi perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan, hal
ini ditunjukkan dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, banyaknya
bank-bank yang
dilikuidasi,
di sektor riil banyak usaha-usaha besar yang gulung tikar (Sugiyono,
2003).
Kondisi yang berbeda terjadi pada
usaha kecil menengah, dimana usaha kecil menengah tetap tegar pada saat krisis
ekonomi melanda, dan memberikan kontribusi yang besar. Pada saat krisis
ekonomi, usaha kecil menengah terbukti mampu menampung 99,45 persen dari total
tenaga kerja atau 73,24 juta tenaga kerja (Marimbo, 2008). Peranan usaha kecil
menengah, terutama sejak krisis ekonomi dapat dipandang sebagai katup pengaman
dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan
ekonomi nasional maupun penyerapan tenaga kerja. (Suryadharma Ali, 2008)
menyatakan bahwa usaha kecil menengah merupakan benteng pertahanan ekonomi
nasional sehingga bila sektor tersebut diabaikan sama artinya tidak menjaga
benteng pertahanan Indonesia.
Sebagai
upaya untuk meningkatkan kemampuan dan peranan serta kelembagaan usaha kecil
menengah dalam perekonomian nasional, maka pemberdayaan tersebut perlu
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan Masyarakat
secara menyeluruh, sinergis dan berkesinambungan. Untuk mewujudkan hal tersebut
maka Pemerintahmengesahkan UU No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan
Menengah. Undang-undang ini disusun dengan maksud untuk memberdayakan usaha
mikro kecil dan menengah.
Kebijakan
pemerintah dewasa ini telah cukup menunjukkan keberpihakan pada Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM). Banyak upaya dan langkahlangkah pemerintah
menyangkut pemberdayaan pada UMKM, pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi
untuk membantu UMKM baik menyangkut peningkatan SDM, permodalan maupun akses
pasar. Melihat persoalan yang dihadapi UMKM, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
meluncurkan kredit bagi UMKM dan Koperasi dengan pola penjaminan oleh Presiden
RI tanggal 5 November 2007 di lantai 21 gedung kantor pusat BRI dengan nama
Kredit Usaha Rakyat (KUR). Peluncuran KUR
merupakan upaya
pemerintah dalam mendorong perbankan penyaluran kredit
pembiayaan
kepada UMKM dan Koperasi. Kebijakan pemerintah di dalam pengembangan Pemerintah
Daerah atau otonomi daerah membuat UMKM lebih diperhatikan oleh pemerintah
daerahnya, karena salah satu syarat utama untuk menjadi otonomi adalah bahwa
daerah yang bersangkutan harus mempunyai pendapatan daerah yang cukup untuk
membiayai roda perekonomian. Ini berarti perlu kegiatan-kegiatan atau
lembaga-lembaga ekonomi lokal, termasuk UMKM yang akan memberikan kontribusi
pada pendapatan daerah. Jadi peran UMKM di daerah tidak saja sebagai salah satu
instrumen kebijakan pemerintah untuk menghilangkan kesenjangan pendapatan atau
pembangunan antar wilayah, melainkan juga sebagai alat pengembangan otonomi
daerah.
Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga (UU Perbankan nomor 10 tahun 1998 dalam Kasmir, 2007 :
92). Menurut Gilarso (1992 : 246) kredit adalah pemberian uang, barang atau
jasa kepada pihak lain, tanpa menerima imbalan (pembayaran) langsung atau
bersamaan tetapi dengan percaya bahwa pihak yang menerima uang atau barang
tersebut akan mengembalikan atau melunasi hutangnya sesuai jangka waktu
tertentu. Menurut Undang-undang no. 14 Tahun 1967 Pasal 1c, mengenai
pokok-pokok perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang
dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain. Dalam hal mana, pihak peminjam berkewajiban melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah
ditentukan. Menurut Kasmir (2007 : 94), unsur-unsur yang terkandung dalam
pemberian suatu
fasilitas kredit yaitu.
1)
Kepercayaan
Kepercayaan dari si
pemberi kredit bahwa kredit yang diberikannya (berupa uang, barang atau
jasa) akan benar-benar
diterima kembali di masa tertentu di masa yang akan datang.
2)
Kesepakatan
Kesepakatan dituangkan dalam suatu
perjanjian dimana masing-masing pihak
menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
3)
Jangka waktu
Suatu masa yang memisahkan antara
pemberi kredit dengan penerima kredit yang mana dana tersebut akan diterima
pada masa yang akan datang. Jangka
waktu ini mencakup masa pengembalian kredit
yang telah disepakati, biasa berbentuk jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang.
4)
Resiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian
akan menyebabkan suatu resiko tidak tertagihnya atau macetnya pemberian kredit.
Suatu resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari jangka waktu yang memisahkan
antara pemberi kredit dengan penerima kredit yang akan diterima kemudian hari.
Semakin lama jangka waktu pemberian kredit, maka semakin besar tingkat
resikonya. Dengan adanya resiko dalam pemberian kredit, maka dapat menimbulkan
jaminan dalam pemberian kredit.
5)
Balas Jasa
Merupakan keuntungan atas pemberian
suatu kredit atau jasa tersebut yang dikenal dengan nama bunga.
Pendapat
(Kasmir, 2007 : 95) tujuan pemberian kredit tidak terlepas dari misi pendirian
suatu bank. Adapun tujuan utama pemberian kredit yaitu.
1)
Mencari keuntungan
Tujuannnya untuk memperoleh hasil dari
pemberian kredit tersebut.
2) Membantu usaha
nasabah
Tujuannya
untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja.
3) Membantu pemerintah
Bagi
pemerintah, semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka
semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan
pembangunan di berbagai sektor. Kemudian disamping tujuan tersebut, suatu
fasilitas kredit memiliki fungsi sebagai berikut:
(1)
Untuk meningkatkan daya guna uang.
(2)
Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.
(3)
Untuk meningkatkan daya guna barang.
(4)
Meningkatkan peredaran barang.
(5)
Sebagai alat stabilitas ekonomi.
(6)
Untuk meningkatkan kegairahan usaha.
(7)
Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan.
(8)
Untuk meningkatkan hubungan internasional.
BAB II
Pembahasan
1.1. Pembahasan
Harus diakui bahwa UKM merupakan potensi
yang sangat dan strategis dalam perekonomian nasional. Karena selain memiliki
jumlah yang besar, UKM juga menyebar hingga ke pelosok pedesaan. Dari segi
kuantitatif, jumlah pelaku usaha di Indonesia pada tahun 2001 mencapai
40.197.611 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 99,86 persen di antaranya
adalah usaha kecil (40.137.773), di mana 97,6 persen di antaranya adalah usaha
mikro. Sedang jumlah usaha berskala menengah sebanyak 57.743 atau 0,14 persen,
dan usaha besar hanya 0,005 persen atau berjumlah 2.095 saja (BPS 2001).
Kontribusi UKM juga amat jelas. Usaha kecil, dan menengah yang jumlahnya
dominan tersebut mampu meyediakan 99,04 persen lapangan kerja. Demikian halnya sumbangan terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) Non Migas, cukup meyakinkan yaitu sebesar
63,11%. UKM juga memberikan kontribusi
pada ekspor non migas sebesar 14,20% (BPS 2001). Hal ini berarti pada sektor-sektor dimana
terbuka bagi masyarakat luas UKM mempunyai sumbangan nyata. Sehingga kemampuan untuk melahirkan
percepatan pemulihan ekonomi akan ikut ditentukan oleh kemampuan menggerakkan
UKM.
Di sisi lain UKM jga menghadapi
berbagai permasalahan yang cukup krusial.
Secara spesifik setidaknya terdapat empat permasalahan eksternal, yang
merupakan problem klasik yang dihadapi UKM.
Keempat permasalahan internal tersebut adalah : (1)
terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset produksi, terutama permodalan; (2)
rendahnya kemampuan SDM; (3) ditinjau dari konsentrasi pekerjaan
sumberdayanya, pengembangannya terhambat oleh konsentrasi rakyat di pedesaan
yang bergerak pada sektor pertanian; (4)
kelembagaan usaha belum berkembang secara optimal dalam penyediaan
fasilitas bagi kegiatan ekonomi rakyat.
Beberapa problem lain yang juga tak
kalah seriusnya, antara lain, mekanisme perencanaan dari atas ke bawah yang
tidak efektif untuk mengatasi detail-detail problematika faktual yang dihadapi
UKM; perumusan program yang tidak
terkait dengan pra kondisi dasar pemberdayaan ekonomi rakyat (yakni mentalitas
enterpreneurship); masih adanya
kelompok-kelompok kepentingan di lingkaran kekuasaan; hingga jaring krupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih kuat.
Sejak krisis moneter muncul, dan
kemudian diikuti krisis ekonomi lebih luas, dampak tidak menyenangkan dialami
pula di sektor UKM. Hal-hal yang tidak
menyenangkan tersebut, antara lain :
(1) tingginya bunga kredit,
sehingga suplai kredit berkurang, berakibat pada kurang terbukanya sektor
produksi : (2) tingginya biaya impor bahan baku dan suku
cadang, yang mengakibatkan meningkatnya biaya produksi, sehingga keperluan
modal kerja meningkat: (3) tingginya biaya untuk permesinan, peralatan,
dan suku cadang, yang berkaitan dengan teknologi: (4)
cash flow terganggu akibat lambatnya pembayaran utang: (5)
nilai tukar mata uang asing yang masih volatile, meningkatkan resiko
transaksi antarnegara.
Rintangan-rintangan di atas,
bagaimanapun menghalangi pembentukan kelas wirausaha yang bebas mendirikan
perusahaan mereka sendiri. Perusahaan
kecil dan menengah sering tampak sebagai usaha sia-sia dan nirlaba. Padahal, aktivitas wirausaha dibutuhkan untuk
membangun sebuah kekuatan ekonomi berbagai luas. Ada hubungan kuat antara eksistensi kelas
wirausaha yang kokoh dengan sebuah kondisi ekonomi yang beragam, dan keduanya
berpadu untuk untuk menciptakan ekonomi nasional yang lebih ulet, menghadaoi
perilaku pasar internasional, yang tidak selalu dapat dipastikan, dan
berkemampuan menyediakan kesempatan pekerjaan yang lebih besar dengan biaya
lebih murah.
Pemerintah di berbagai negara, pada
umumnya mendukung UKM. Hal tersebut
dilakukan mengingat kontribusinya yang signifikan atas lapangan kerja, inovasi
dan pertumbuhan. Dukungan pemerintah
tersebut bertujuan memajukan sektor UKM, agar bergairah dan tumbuh secara
dinamis. Namun demikian, biasanya
dukungan pemerintah terhadap UKM tersebut, tidak berjalan secara optimal.
Setidaknya ada tiga hal yang
menyebabkan peran negara kurang memuaskan dalam pemberdayaan UKM. Pertama, relevansi pembinaan jasa
berlandaskan pandangan sempit tentang kebutuhan UKM, yaitu lebih banyak
ditentukan dari sisi pemberian layanan
(supply driven) dan bukan karena
pengetahuan tentang apa yang diperlukan UKM. Kedua, jangkauan sasaran terbatas. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan pada
subsidi dan ketentuan jenis bantuan pemerintah terhadap UKM. Akibatnya jumlah perusahaan yang menerima
bantuan menjadi terbatas, terutama oleh jumlah dana yang dianggarkan pemerintah
dan sifat mekanisme pemberian bantuan, akibanya fatal ketika bantuan dana
dihentikan atau seringkali hanya berlaku untuk sekali saja.
Suatu strategi realistik dengan
kinerja tinggi dan ekonomis untuk menciptakan jasa pengembangan usaha (BDS),
setidaknya harus didasarkan pada tiga tiang utama: Pertama, harus diciptakan
kondisi untuk menggairahkan pengembangan sektor swasta. Sektor swasta bagaimanapun memerankan peran
yang signifikan bagi pengembangan UKM, oleh karenanya pemerintah harus
mengkondisikan iklim usaha yang kondusif yang berdampak positif bagi pasar dan
bisnis. Kedua, pengembangan pasar BDS
yang semakin diprioritaskan. Artinya
pola penyediaan jasa BDS yang berdasar pada ketersediaan dan subsidi
pemerintah, harus digeser ke arah pola yang mengembangkan lingkungan pasar yang efektif, sehingga
memungkinkan penyediaan BDS. Ketiga,
upaya mengembangkan pasar BDS swasta seyogyanya dilengkapi dengan pengurangan
dan rasionalisasi keterlibatan sektor pemerintah. Pengurangan peran konvensional pemerintah
dalam penyediaan jasa didorong dengan cara memperketat aturan pengembalian
ongkos (cost recovery) BDS agar program ini bisa berlanjut secara finansial,
menggunakan sektor swasta untuk menyalurkan BDS yang didanai pemerintah, dan
melakukan evaluasi lebih ketat terhadap dampak yang terkait dengan alokasi
anggaran untuk BDS. Rasionalisasi
pengucuran dana pemerintah untuk BDS dapat diikuti dengan swastanisasi program
yang telah sepenuhnya mencapai cost recovery.
Dalam konteks penyedia jasa
BDS, setidaknya harus diperhatikan dua
hal: selayaknya bersikap sebagaimana
pelaku pasar lainnya dan mengikuti permintaan pasar (market oriented); sebaiknya memfokuskan diri pada bidang yang
benar-benar dikuasainya. Bagaimanapun,
tampaknya, jasa bisnis menjadi semakin penting di semua negara. Di negara maju separuh dari angka pertumbuhan
GDP diperoleh dari jasa bisnis, sedangkan di negara berkembang sekitar
sepertiga, dan jasa bisnis merupakan bidang dengan pertumbuhan tertinggi di
negara industri. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa sesungguhnya keberadaan jasa bisnis (di tengah lingkungan
global dan lokal yang makin kompleks dan kompetitif) sebagai penambah nilai
pada komoditi, barang dan proses makin diakui, sehingga memungkinkan perusahaan
bersaing lebih efektif, dapat mengakses pasar baik yang ada maupun yang baru
dan beroperasi dengan lebih efisien.
Dalam rangka pengembangan BDS itu
sendiri diperlukan intervensi secara langsung, terutama dari pemerintah dan
donor, sebagai upaya menghadapi kendala institusional-fundamental dan guna
mengembangkan pasar secara efektif. Hal
ini terkait dengan hambatan khas UKM dan respon intervensinya secara tepat.
Strategi pengembangan BDS dalam
konteks pengembangan UKM, sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya merupakan
embrio atas konsep klaster bisnis.
Konsep klaster bisnis, yang dimaksud dalam hal ini, setidaknya merupakan
pendekatan baru, yang membedakan dengan kebijakan-kebijakan lama
(konvensional). Dengan demikian,
sesungguhnya, klaster bisnis bisa berkembang, dengan tidak harus melibatkan
intervensi langsung pemerintah dan lembaga donor dalam konteks pengembangan UKM
yang memang sudah seharusnya berorintasi bisnis.
1. Teknologi untuk Pengembangan UKM
Globalisasi dan liberalisasi ekonomi
dunia telah membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan di seantero dunia,
terutama negara-negara sedang berkembang, dengan memanfaatkan teknologi untuk
meningkatkan tingkat kompetitifnya.
Namun demikian, agaknya bagi UKM masih terdapat kesulitan untuk
mengakses, memanfaatkan, dan menguasai teknologi. Padahal dengan atau akuisisi teknologi
(technology acquisition) secara baik, akan didapatkan efektivitas dan efisiensi
dalam soal waktu, biaya, dan resiko, terutama dalam mengembangkan perusahaan
UKM yang profesional. Akuisisi teknologi
merentang dalam berbagai bentuk, mulai dari aspek pembelanjaan (purchases),
franchising, licensing, hingga aliansi strategis antara perusahaan dengan pihak
yang menguasai program-program teknologi dalam konteks transfer teknologi. Namun demikian, efektivitas transfer
teknologi, tidak saja bergantung pada aksesbilitas dan hal-hal yang terkait
dengan penguasaan teknologi semata, namun juga harus melihat kondisi permintaan
lokal (local demand condition) dan kemampuan untuk menentukan skala prioritas
teknis pembangunan dan kemampuan manajerial, yang mampu menyerap dan mengelola
implementasi penguasaan teknologi tersebut.
Penguasaan teknologi, terkait dengan
segala aspek yang menyertai pengembangan UKM, dari mulai pengadaan bahan baku,
pengolahan dan peningkatan mutu produk, distribusi, dan kelayakan atas kondisi
pasar yang ada. Dengan demikian, diharapkan
UKM akan semakin efektif dan efisien, memenuhi kebutuhan skala lokal, bahkan
jika memungkinkan juga kebutuhan dalam skala internasional.
Rintangan klasik dalam upaya
penguasaan teknologi adalah kurangnya kapasitas lokal dan keahlian untuk
menyeleksi, memperoleh, mengadaptasi, dan mengasimilasi teknologi, seiring
dengan keterbatasan dan kekurangan sarana finansial, sebagaimana pula dalam
penguasaan informasi. Tidak banyak UKM
yang telah memiliki kapasitas jaringan dan monitoring yang memungkinkan mereka
untuk mampu mengakses informasi secara baik.
Padahal, biasanya UKM bisa menentang kehadiran resiko lebih parah, bila
mereka mampu melakukan inovasi-inovasi yang didasarkan pada teknologi baru.
Walaupun memiliki keterbatasan,
format baru yang dikembangkan dengan memakai teknologi yang tepat, merupakan
awal yang baik bagi tumbuhnya pendapatan yang akan diperoleh perusahaan, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Gambaran umum atas format baru yang dimaksud, terkait dengan kemampuan
untuk mengembangkan produk-produk baru, dengan melibatkan teknologi dan
proses-proses yang terkait dengannya, atau dengan memproduksi dan memasarkan
produk baru tersebut.
Dalam konteks penguasaan
bio-teknologi dan informasi pengembangan teknologi terbaru, diperlukan kerjasama
antara perusahaan-perusahaan UKM lokal dengan perusahaan-perusahaan asing
(foreign firms) yang berkembang dalam konteks hubungan antar-negara
Utara-Selatan (North-South) dan Selatan-Selatan (South-South). Kerjasama dan pengembangan jaringan antara
perusahaan dan lembaga riset dan teknologi antara Selatan dan Utara-Selatan
telah menjadi hal yang menggejala.
Contoh yang baik dalam konteks ini, misalnya tipe jaringan (network)
yang dikembangkan oleh Agricultural Research and Extension Network (RDFN), dan
Cassava Biotechnology Network (CBN).
Peran pemerintah dalam hal ini
amatlah signifikan. Pemerintah sebagai
fasilitator, memungkinkan untuk menciptakan situasi kondusif bagi pengembangan
dan penguasaan teknologi, serta merangsang pelbagai inovasi atas penguasaan
teknologi tersebut, serta yang utama ialah menumbuhkan semangat belajar untuk
menguasai teknologi baru yang berkembang demikian cepat. Kendalanya, selama ini berbagai perusahaan
dengan tingkat yang berbeda-beda mencoba mempelajari sendiri penguasaan
teknologi, sehingga hasilnya adalah kesulitan untuk menetapkan strategi
inovasi. Dalam konteks ini unsur
fleksibilitas memang penting, terutama dalam konteks kebijakan yang dinamis. Dibutuhkan interaksi antara penentu kebijakan
dengan aktor UKM dalam mengembangkan proses pengembangan UKM berbasis teknomogi
yang terkati erat dengan investasi dan pemasaran.
Dalam menata dan mengembangkan
kapabilitas lokal untuk mentransfer teknologi dan inovasi, dibutuhkan
kolaborasi, jaringan, dan klaster-klaster.
Hal ini memungkinkan perusahaan UKM untuk memperhitungkan tingkat resiko
dan biaya, dalam mengakses pasar, baik yang terkait dengan perusahaan kecil,
sedang (menengah), dan besar, juga dalam konteks tukar-menukar informasi
(sebagai contoh, dalam hal pengembangan teknologi dan pemasaran produk-produk
alami) serta hubungan komersial. Dengan
demikian, sesungguhnya UKM amat potensial untuk berpartisipasi atau terlibat
dalam pasar internasional yang demikian kompetitif.
Struktur
pendukung teknis dan komersial, semisal laboratorium litbang, pusat transfer
teknologi, fasilitas kontrol kualitas, dan agensi promosi ekspor, haruslah
dikembangkan secara seksama. Demikian
pula menyoal penciptaan desain dalam memperoleh dan memanfaatkan informasi atas
jasa teknologi, kaitannya dengan pengembangan UKM. Dukungan atas struktur
teknis dan komersial di atas, memerlukan identifikasi atas kebutuhan,
kesesuaian, adaptasi, dan aspek follow-up-nya dalam konteks post-transfer
teknologi. Dalam hal ini, masing-masing negara berkesempatan untuk
mengembangkan UKM dengan selalu memperhatikan perkembangan teknologi yang ada,
tentu saja bila tak mau ketinggalan dengan yang lain.
Teknologi informasi dan
telekomunikasi telah merambah ke semua sektor ekonomi, termasuk di dalamnya
komoditi primer, manufaktur, dan jasa.
Pentingnya penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi makin
dirasakan manfaatnya, terutama dalam mengantisipasi perkembangan dan kompetisi
usaha yang makin dinamis. Teknologi
informasi dan telekomunikasi memberi kesempatan pada perusahaan untuk
memperoleh informasi signifikan bagi upaya mengembangkan usahanya, dan sebagai
akibatnya bisa dicapai optimalisasi efektivitas dan efisiensi usaha. Diakui perkembangan teknologi informasi dan
telekomunikasi, memicu upaya-upaya efektivitas dan efisiensi usaha, dan dengan
demikian manfaatnya bagi perusahaan, tak saja mereka tetap eksis dan bertahan,
melainkan diharapkan mampu melakukan inovasi dan langkah-langkah maju.
Beberapa negara telah merambah
industri teknologi informasi dan telekomunikasi, semisal Cina, Malaysia, Korea
Selatan, Singapura, dan Taiwan. Dan
tampaknya pasar teknologi informasi dan telekomunikasi masih amat lebar,
seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi yang ada. Yang kini tengah menjadi fenomena adalah
kehadiran internet, yang dirasakan sebagai sarana revolusioner dalam memecahkan
jarak dan waktu, dengan demikian efisien dan murah. Walaupun fenomena internet telah mewabah, di
Indonesia kesadaran atas penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi bagi
pengembangan UKM masih perlu ditumbuhkan.
Tidak hanya kesadaran saja tetapi juga penguasaan dan pemanfaatan yang
seoptimal mungkin, dalam konteks membangun jaringan, mengakses pasar, dan memperoleh
informasi dab hal-hal yang merangsang inovasi.
Internet, bagaimanapun, merupakan
sarana bagi negara-negara sedang berkembang untuk untuk bisa bekerjasama dan
mengakses infrastuktur informasi global.
Meskipun tingkat pertumbuhan pengguna atau pemanfaat internet diperkirakan
makin meningkat dan cukup tinggi, agaknya masih saja yang optimal memanfaatkan
masih terkonsentrasi di negara-negara industri maju. Banyak data yang setidaknya membuktikan bahwa
sekitar 90 persen pengguna internet adalah dari kalangan berpendidikan tinggi
yang jumlahnya terbatas. Dan, agaknya
akses ke teknologi informasi dan telekomunikasi di negara-negara berkembang
atau negara-negara dalam transisi penguasaan teknologi, masih diliputi
keterbatasan-keterbatasan. Sebagai
catatan misalnya, pada tahun 1998 pengguna internet di Paraguay, India, dan
Filipina hanya 0,01 persen dari total populasi;
Taiwan, Korea Selatan, dan Kuwait 2-2,5 persen; Perancis 6,5 persen;
Jepang 9,6 persen; Australia 18 persen; dan Finlandia 35 persen.
Dengan penguasaan dan pemanfaatan
yang optimal akan teknologi informasi dan telekomunikasi, UKM berkesempatan
untuk memenangkan kompetisi ekonomi global, terutama dari sudut penguasaan
informasi. Mereka terpacu untuk
meningkatkan kualitas produk berdasarkan standar internasional, serta membangun
aliansi strategis dan hubungan kerjasama silang (cross-border partnership)
antar perusahaan di berbagai negara.
Pemanfaatan internet secara optimal juga mampu menekan biaya yang
signifikan bagi UKM, terutama dalam mengiklankan (advertises) dan mempromosikan
produk0produk dan kontak antara buyers dan suppliers dalam tingkat global.
Penguasaan
infrastruktur teknologi informasi dan
telekomunikasi tampaknya telah menjadi kebutuhan utama, dalam konteks
pengembangan UKM. Maka keahlian dalam
bidang penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi, amat mendesak untuk
dilakukan, bahkan telah menjadi keharusan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: kemampuan untuk
mengakses infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi; kemampuan untuk
mengembangkan teknik-teknik e-commerce; kemampuan untuk menginformasikan
produk-produk yang dikembangkan dalam model-model bisnis yang ada; dan
sebagainya.
Penguasaan teknologi informasi dan
telekomunikasi amat bermanfaat bagi pengembangan internal perusahaan, serta
keperluan inter connections dengan pasar dan suppliers. Penguasaan teknologi
informasi dan telekomunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas pada
kapabilitas teknis, tetapi juga, yang lebih penting lagi adalah, kaitannya
dengan efektifvitas perencanaan dan kemampuan organisasional. Pemerintah, sebagai pihak fasilitator, sudah
selayaknya membantu mengembangkan infrastruktur teknologi informasi dan
telekomunikasi, dan juga menciptakan berbagai aturan kebijakan yang konstruktif
dan merangsang inovasi serta berkepentingan untuk memasyarakatkan penguasaan
teknologi informasi dan telekomunikasi bagi pengembangan UKM.
2. Eksistensi Jasa
Finansial dan Keterbatasannya
Berikut ini akan dijelaskan secara
singkat hal-hal yang berkaitan dengan jenis-jenis jasa finansial serta beberapa
hal yang melingkupinya, antara lain :
a. Sektor Jasa
Finansial Formal
Sektor
jasa finansial formal, terutama bank-bank komersial, menunjukkan kesukaran
dalam menumbuhkan UKM dalam akses penguasaan modal (kapital) :
·
Laba yang sedikit atau tak ada sama sekali, bila berurusan dengan sektor UKM;
·
Merupakan pasar yang tidak komplet (incomplete market) untuk instrumen
finansial, khususnya untuk hutang jangka panjang;
·
Membutuhkan waktu lama, dari lamanya negosiasi dan prosesnya hingga disetujui
(approval)
·
Respom yang lambat dalam mengubah kebutuhan hak-hak lingkungan berubah;
·
Produk-produk finansial yang berorientasi non pelanggan (non-customized); dan
·
Jasa-jasa untuk kebutuhan individual UKM.
b. Sektor Jasa Finansial Informal
Pembiayaan informal ternyata telah
memainkan peran dan pengaruhnya yang luas dalam soal financing bagi UKM di
negara-negara sedang berkembang.
Termasuk dalam hal ini antara lain modal dari para pemberi hutang individual
(individual moneylenders), tabungan bersama (mutual savings), dan asosiasi
pemberi pinjaman, dan perusahaan-perusahaan mitra (partnership firms). Sektor jasa finansial informal dicirikan oleh
:
· Adanya fleksibilitas (keluwesan) dan
kecepatan (speed0;
·
Memerlukan biaya-biaya transaksi yang
tinggi atau bersifat high transaction costs.
·
Tingkat bunga yang melebihi rata-rata;
·
Pinjaman berskala kecil dalam jangka waktu pendek;
·
Pengembalian hutang yang tinggi bagi peminjam yang mengandalkan prosedur
tertutup, ketelitian dalam memonitor para peminjam yang mengandalkan kedekatan
dengan para peminjam, dan adanya tekanan pada unsur ketelitian.
c. Pemisahan atas lembaga finansial dan
bank-bank pembangunan (development bank)
Banyak
negara yang telah mapan (established) memisahkan lembaga finansial mereka dalam
menyediakan kredit khusus bagi UKM dan bank pembangunan, dicirikan oleh :
·
Kecilnya kemampuan menghasilkan laba (poo profitability);
·
Biaya administrasi yang tinggi;
·
Ekspansi horisontal atas jasa-jasa, termasuk asistensi teknikal, pelatihan, dan
sebagainya;
·
Ekspansi jasa-jasa termasuk pinjaman-pinjaman dari perusahaan besar;
·
Ketergantungan pada subsidi pemerintah, pembubaran (dissolution) atau likuidasi
(liquidation).
d. Skema penjaminan
Beberapa lembaga finansial internasional
dan pemerintah yang memiliki skema garansi (penjaminan) yang mapan
(established) telah mampu mendorong bank-bank komersial meminjamkan dananya
untuk pengembangan UKM. Dengan premi 1
sampai 3 persen akan tergaransi hingga
80 persen. Pengalaman atas skema
penjaminan bagi UKM, menunjukkan masih banyak yang gagal dan sedikit yang
sukses. Salah satu problem utamanya
adalah persoalan kesinambungan aktivitas yang dijalankan, yang memakan waktu
lama, apalagi setelah memperoleh dana dari pemerintah dan lembaga donor. Dalam banyak kasus UKM yang telah memperoleh
dana pinjaman untuk investasi, ternyata tidak bisa memanfaatkannya dengan baik,
dengan demikian hal ini menumbuhkan tingkat resiko yang tinggi bagi penjaminnya. Oleh karena itu kekawatiran akan terjadinya
moral haaid, sehingga dalam pelaksanaannya perlu berhati-hatian yang tinggi dan
tidak menjadi informasi yang terbuka bebas.
e. Leasing
Leasing finansial adalah sebuah
persetujuan kontrak di mana UKM dapat memanfaatkan aset yang ada dengan
membayar sewa yang ditetapkan. Biasanya
karena perusahaanleasing yang memiliki aset, maka uang sewa yang diberikan
lebih dianggap sebagai biaya operasi ketimbang financing charge. Perusahaan leasing biasanya pula menekankan
agar UKM mampu mengelola cash flownya.
Biasanya mereka mencadangkan 10 persen untuk biaya kemanan, dan akan
berakhir setelah 3 hingga 5 tahun.
Leasing, bagaimanapun merupakan salah satu cara bagi UKM untuk
memecahkan problema kebutuhan modal jangka menengah. Biasanya UKM di negara-negara sedang
berkembang menggantungkan keuntungan mereka pada penggunaan (atas manfaat)
transfer teknologi yang ada, sehingga banyak membutuhkan kebutuhan finansial
jangka menengah.
f. Dana Modal Ventura (Venture capital funds)
Dana modal ventura adalah sebuah
mekanisme investasi yang terdiri dari modal equity dan asistensi manajerial
untuk menumbuhkan perusahaan. Sebagai
target perusahaan untuk mengembangkan produk-produk dan jasa-jasa baru, penyedia-penyedia modal ventura
melakukan tugasnya dengan mengatasi kendala-kendala biaya UKM.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Dengan pendekatan ini diharapkan ini
diharapkan akan terbentuk sebuah komunitas dalam pengembangan UKM, dalam bentuk
asosiasi, perhimpunan atau dalam bentuk organisasi yang lain. Karena sifatnya pembinaan maka lembaga ini
merupakan lembaga nonprofit yang terdiri dari para stakeholder UKM yang
melakukan.
Perlu diingat bahwa tiga pilar
keberhasilan penopang dinamika klaster adalah adanya dukungan non finansial,
dukungan finansial untuk penggerak (USP/KSP), dan adanya asosiasi atau lembaga
yang menjadi representatif/perwakilan mereka.
Kesemuanya itu akan bekerja dalam klaster, yang didukung oleh jaringan
sistem informasi yang menjadi instrumen penting, dalam penyelesaian
kegiatan-kegiatan yang ada.
Karena itu proses pengembangan UKM
akan berjalan baik apabila berlanjut menjadi lembaga swasta murni, dengan pendekatan
pasar. Hal ini dilakukan agar fungsi
kelembagaan pembinaan UKM di dalam klaster berfungsi secara lebih efisien dan
efektif dengan menjalankan prinsip saling menguntungkan. Adapun untuk pengembangan selanjutnya dapat
dilakukan dengan replikasi terhadap sentra-sentra yang telah ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar