BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Abstrak
Pengertian pendidikan
kalau ditinjau dari segi asal kata adalah, bahwa pendidikan itu berasal dari
kata “Pedagogi” dimana kata tersebut berasal dari bahasa yunani kuno,
yang kalau di eja menjadi 2 kata yaitu :
- Paid artinya=>
anak
- Agagos artinya
=> membimbing
Dengan demikian pengertian pendidikan kalau ditinjau
dari suku kata tersebut adalah cara atau ilmu untuk mengajar/membimbing anak.
Pengertian penganguran adalah sebutan
untuk suatu keadaan di mana masyarakat tidak bekerja. Menganggur adalah mereka
yang tidak mempunyai pekerjaan dalam kurun waktu seminggu sebelum pencacahan
dan sedang berusaha mencari pekerjaan dan ini mencangkup mereka yang sedang
menunggu panggilan terhadap lamaran kerja yang di ajukan atau sedang tidak
mencari kerja karena beranggapan tidak ada kesempatan kerja yang tersedia untuk
dirinya walaupun dia sanggup.
Masalah
kependudukan yang serius dihadapi oleh negara berkembang pada umumnya, antara
lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik,
fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan
berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan dalam perspektif
masyarakat.
Dengan kata
lain sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi menghasilkan lulusan
dengan tingkat kemandirian dan jiwa kewirausahawan yang rendah. Tingginya
tingkat pengagguran dari lulusan perguruan tinggi difaktorkan juga karena skill
kemampuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, lulusan
perguruan tinggi tidak mempunyai keahlian apa pun dan tidak mampu bersaing di
kanca pasar tenaga kerja. Dengan demikian perguruan tinggi yang melulusakan
sarjana,diploma akan terus dipertanyakan.
1.2. Landasan
Teori
Menurut Jogiyanto (2005:1) adalah suatu
jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul
bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu
aturan tertentu. Sementara menurut Raymond McLeod dan George Schell (2004:9).
Bila proses belajar mengajar dipandang
sebagai sistem , maka subsistem-subsistemnya adalah bahan pelajaran, metode
belajar mengajar, alat belajar/alat peraga/media belajar, lingkungan/iklim
belajar, manajemen/administrasi kelas, para siswa/mahasiswa, pendidik,
pengawas, dan evaluasi/umpan balik (Made Pidarta,2007:32-34).
Menurut Keynes, pengangguran adalah hasil
dari beberapa faktor yang diklasifikasikan sebagai struktural, musiman,
siklikal, friksional, dan demand-deficient.
Menurut Dumairy
Pengangguran adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang
tidak bekerja dan (masih atau sedang) mencari pekerjaan.
Berdasarkan perhitungan
tingkat pengangguran, ternyata di wilayah pedesaan tingkat penganggurannya
lebih rendah, dibandingkan dengan di perkotaan. Kemungkinan besar diakibatkan
banyaknya migran pencari kerja dari pedesaan yang mencari kerja di kota
(Nugraha Setiawan,2005).
Jumlah penduduk memiliki hubungan yang
positif dan kuat terhadap jumlah pengangguran, hal ini menunjukkan keterkaitan
antara jumlah penduduk dan pengangguran sangat besar. Serta pertumbuhan ekonomi
memiliki hubungan positif dan cukup kuat terhadap pengangguran hal tersebut
mengindikasikan adanya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan
pengangguran (Farid Alghofari, 2007).
Pada
masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk
peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam
arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa
pendidikan adalah teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. Atau
setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki
nilai "gengsi" yang lebih tinggi di banding sektor informal. Dengan
demikian, keterbatasan lapangan pekerjaan akan berpotensi tidak dapat tertampungnya lulusan program
pendidikan di lapangan kerja, secara linear berpotensi menggugat eksistensi dan
urgensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan
kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan. Lapangan
pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan
"pendidikan". Maka merembaknya isu pengangguran terdidik menjadi
sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara
berkembang pada umumnya, khususnya juga di Indonesia.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Dengan perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan
signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang
awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan
pendidikan di Indonesia. Menyikapi hal tersebut pakar-pakar
pendidikan mengkritisi dengan cara mengungkapkan dan teori
pendidikan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan pendidikan
yang sesungguhnya.
Maka hasil
dari proses pendidikan yang jelas adalah harus adanya perubahasn sikap,
tanggung jawab yang terjadi pada manusia. Perubahan-perubahan itu pun menyankut
aspek jaasmani dan rohani manusia, Pendidikan menyadarkan manusia sebagai
manusia yang sadar diri dan sadar lingkngan, Dengan itu manusia dapat
memperbaiki lingkungan tanpa mengubah diri sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pembahasan
Pengangguran
atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali,
sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau
seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah
angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan
kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah
dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran,
Karena tidak mampunyai untuk membuat lapangan pekerjaan yang
begitu besar maka timbullah yang di sebut pengangguran . produktivitas dan
pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya
kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.jika peningkatan jumlah angkatan
kerja di suatu negara tidak diimbangi dengan penimngkatan daya serap lapangan
kerja Industrialisasi yang melanda berbagai negara berkembang selain
menciptakan sederet keberhasilan , juga menimbulkan berbagai masalah yang cukup
pelik, salah satu masalah pelik tersebut adalah masalah kesempatan kerja dan
pengangguran.
pengangguran terjadi karena kurangngnya
kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang membutuhkan , Hampir semua negara di dunia
ini termasuk indonesia tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk
menampung angkatan kerjanya, bukan hanya negara berkembang yang tidak mampu
menyediakan lapangan kerjanya , tetapi juga negara negara maju seperti amerika
Kurangnya lapangan pekerjaan merupakan masalah yang harus di
tangani dengan sungguh – sungguh. Alasannya bekerja atau tidak bekerjanya suatu
hubungan langsung dengan kesempatan orang mencari nafkah . dengan bekerja
seseorang dapat penghasilan untuk membiayai hidup dan keluarganya.
·
Jenis-Jenis Pengangguran
Pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
1. Pengangguran Terselubung (Disguissed Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja
secara optimal karena suatu alasan tertentu.
2. Setengah Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada
lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan
tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.
3. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan.
Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan
padahal telah berusaha secara maksimal.
·
Penyebab Pengangguran
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguranadalah sebagai
berikut:
1.
Besarnya
Angkatan Kerja Tidak Seimbang dengan Kesempatan Kerja
Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar
daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang
terjadi.
2.
Struktur Lapangan
Kerja Tidak Seimbang
3.
Kebutuhan
Jumlah dan Jenis Tenaga Terdidik dan Penyediaan Tenaga Terdidik Tidak Seimbang
Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada
angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu
terjadi kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia.
Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak
dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia.
4.
Penyediaan
dan Pemanfaatan Tenaga Kerja Antar Daerah Tidak Seimbang
Jumlah
angkatan kerja disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja,
sedangkan di daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut
dapat mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerah lain,
bahkan dari suatu negara ke negara lainnya.
· Akibat pengangguran
-Bagi perekonomian negara
-Bagi masyarakat
·
Kebijakan-Kebijakan Pengangguran
Adanya bermacam-macam
pengangguran membutuhkan cara-cara mengatasinya yang disesuaikan dengan jenis pengangguran
yang terjadi, yaitu sebagai berikut :
Cara mengatasi pengangguran struktural :
- Peningkatan mobilitasmodal dan tenaga kerja,
- Segera memindahkan tenaga kerja dari tempat
sektor yang kelebihan ke tempat sektor ekonomi yang kekurangan,
- Mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk mengisi
lowongan kerja yang kosong,
Cara mengatasi pengangguran friksional
- Perluasan
kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-industri baru terutama yang
bersifat padat karya,
- Menggalakkan debirokratisasi
di berbagai bidang industri untuk merangsang timbulnya investasi baru,
- Pembukaan
proyek-proyek umum oleh pemerintah seperti pembangunan jembatan raya, jalan
raya, PLTU, PLTA, sehingga bisa menyerap tenaga kerja secara langsung maupun
untuk merangsang investasi dari kalangan swasta.
2.2. Berikut adalah contoh kasus dri pengangguran
Pengangguran Terdidik Memprihatinkan,
Pada awal tahun 2012 oleh Kementerian
PPN/Bappenas, tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan dari 7,14 %
menjadi 6,56 %. Hal yang menarik,
tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan SLTA ke atas mengalami penurunan
yang cukup nyata.
Penurunan nyata
terlihat pada lulusan diploma, yakni turun dari 12,78 % menjadi 7,16 % dan sarjana dari 11,92 % menjadi 8,02 %.
Namun jumlah ini, masih cukup
memprihatinkan. Pasalnya, jumlah pengangguran terdidik masih di atas lima
persen. Pengangguran dapat dikatakan kecil jika jumlahnya berada di bawah lima
persen, dan ini masih menjadi fenomena yang menghawatirkan.
Hal ini menunjukkan
ada yang salah dengan pengelolaan perekonomian dan pendidikan di Indonesia saat
ini.
Dengan adanya pengangguran terdidik,
secara potensial dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, di antaranya
timbulnya masalah-masalah sosial akibat pengangguran, pemborosan sumber daya
pendidikan, dan menurunnya penghargaan serta kepercayaan masyarakat terhadap
dunia pendidikan di negeri ini.
Tingkat
pengangguran yang tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik, keamanan,
sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Akibat jangka panjang adalah menurunnya
Semoga ke depannya para lulusan perguruan
tinggi negeri dan swasta mampu bertindak dan
berpikir secara kreatif dan inofatif sehingga mereka mampu menjawab
tantangan dan perkembangan zaman di era yang serba menggunakan teknologi serta
pengaruh globalisasi pada saat ini.
Indonesia
mengalami krisis pendidikan dengan hasil pendidikan yang konsisten berada di
peringkat bawah dalam beberapa riset internasional. Karena itu, pemerintah
diminta untuk mengkaji secara serius dalam menemukan masalah mendasar yang
terjadi antara kebijakan dengan praksis pendidikan di lapangan, termasuk di
dalam ruang kelas.
Pendidikan
Indonesia menghadapi tantangan untuk mampu menghasilkan lulusan yang mampu
berpikir, bukan sekadar ingin cepat lulus dan mendapat gaji besar.
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan
SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan
ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai
Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang
ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya
untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan
yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok sesuai keputusan Komite
Sekolah.
Namun,
pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala
Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala
Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab
negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi
ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP). Berubahnya status pendidikan
dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan
politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan
hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh
kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada
melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Indonesia
mengalami krisis pendidikan dengan hasil pendidikan yang konsisten berada di
peringkat bawah dalam beberapa riset internasional. Karena itu, pemerintah
diminta untuk mengakaji secara serius dalam menemukan masalah mendasar yang
terjadi antara kebijakan dengan praksis pendidikan di lapangan, termasuk di
dalam ruang kelas.
Pendidikan Indonesia menghadapi
tantangan untuk mampu menghasilkan lulusan yang mampu berpikir, bukan sekadar
ingin cepat lulus dan mendapat gaji besar.
"Hasil-hasil
riset internasional yang penting seperti PISA dan TIMSS menunjukkan Indonesia
konsisten di bawah dalam kemampuan siswa di bidang matematika, sains, dan
membaca. Kenyataan ini seharusnya menumbuhkan sense of crisis kita soal
pendidikan. Kita perlu meneropong apa yang terjadi di ruang kelas. Sebab, apa
yang terjadi di lapangan adalah produk kebijakan pendidikan yang memang banyak
bermasalah," kata Elin Driana, praktisi pendidikan yang mendalami bidang
riset dan evaluasi di Jakarta, Minggu (28/1/2013).
Persoalan
tersebut dalam focus group discussion dengan topik "Wajah
Pendidikan Indonesia" yang dilaksanakan Ikatan Alumni Institut Teknologi
Bandung (ITB) di Jakarta pekan ini. Ahmad Muchlis, pengajar Matematika di ITB,
rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia dalam pendidikan sains dan matematika
berimplikasi pada tataran individu dan kolektif.
"Dalam pengambilan keputusan
memilih perangkat teknologi, mislanya, lebih memilih pada tampilan dan harga
dibandingkan kegunaan, dan juga rentan terhadap isu atau rumor. Secara
kolektif, terjadi ketergantungan teknologi, serta sulit memecahkan masalah
kesehatan dan lingkungan," kata Ahmad.
Wayan Mesinario, alumni ITB yang
bergerak di bidang enegeri dan sumber daya mineral (ESDM), mengatakan
pendidikan Indonesia masih lemah dalam menghasilkan entrepreneur yang berilmu
dan berionovasi yang mampu menciptakan lapangan kerja. Padahal,
pemerintah melalui pendidikan bisa merencanakan kebutuhan peneliti
profesional, pekerja, perencana, eksekutor, pemelihara, operator, dan entrepreneur.
"Kami
kesulitan mencari pelaku di bidang bisnis ESDM. Padahal potensinya luar biasa.
Perguruan tinggi harus diarahkan untuk bisa menciptakan entrepreneur yang
berilmu dan berinovasi, bukan sekadar berani jadi pekerja," kata Wayan.
Krisis bidang pendidikan yang
dialami Indonesia ini dinilai juga akibat kondisi guru yang belum berkualitas.
Apriliana, alumni ITB lainnya, mengatakan perbaikan pendidikan di Indonesia
tidak menyasar pada fondasi utama yakni guru.
Saat ini, guru sudah tidak lagi
menjadi hidden curriculum akibat kualitas penyiapan dan pendidikan guru yang
memprihatinakan yang dimulai di tingkat dasar. Abah Rama, alumni ITB yang
mendalami pemetaan talenta, mengatakan dari survei yang pernah dilakukan
terhadap 1.400 guru di DKI Jakarta, hanya sekitar 25 persen yang bertalenta
menjadi guru. "Jadi ada masalah dalam passion guru sendiri. Masalah ini
perlu diperhatikan," kata Abah Rama.
Menurut Abah Rama, dalam pendidikan
dewasa ini, kompetensi sikap memang yang terutama. Disusul keahlian dan pengetahuan,
tergantung pekerjaannya. "Selanjutnya yang tak kalah penting dikembangkan
kememapun untuk mengetahui talenta tiap orang, misal untuk mengetahui dalam
menyiapkan pemimpin atau entrepreneur," ujarnya.
Djoko
Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan yang juga
mantan Rektor ITB mengatakan pendidikan Indonesia menghadapi tantangan untuk
mampu menghasilkan lulusan yang mampu berpikir, bukan sekadar ingin cepat lulus
dan mendapat gaji besar. "Kondisi pendidikan di Indonesia memang
disparitasnya besar. Kita juga menghadapi tantangan untuk mengembangkan sains,
teknik, dan pertanian yang dapat mendorong kemajuan bangsa," kata Djoko.
Dalam kaitan dengan pendidikan guru,
kata Djoko, pemerintah mendorong keras lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK) untuk meningkatkan kualitas. "Guru kita sekarang ini mengalami
krisis kehilangan 'keguruannya'. Menjadi guru lebih dianggap sebagai pekerjaan
dibandingkan panggilan dari hati," kata Djoko.
Banyak
sekali yang sudah bahwa sistem pendidikan Indonesia saat ini belum bisa membuat
generasi menjadi generasi yang bekualitas yang dan mampu bersaing dengan
manusia lain kemudian menjaid manusia yang siap dipakai di kanca pasar tenaga
kerja. Sebagian anak Indonesia berprestasi seharusnya tidak diragukan lagi.
Tetapi perhatian pemerintah yang kurang dan segala kekurangan yang ada membuat
pendidikan Indonesia tetap saja kurang.
Seharusnya
ini semua dapat dilakukan oleh setiap lembaga pendidikan yang memberikan
pendidikan seperti itu, Para pengajar yang memberikan pengajaran tentang
bagaimana cara agar bisa menjadi lulusan yang siap pakai. Lembaga pendidikan
yang tidak hanya megajarkan teori-teori tanpa memberikan praktik diluar
lapangan. Lembaga pendidikan ini harus bisa menyamai perkembangan jaman yang
membtuhkan tenaga kerja yang sesuai dengan perusahaan-perusahaan yang
dibutuhkan.
Sistem
Indonesia juga tidak hanya membuat pengaturan-pengaturan yang memberatkan
sebelah. Sistem harus bisa merata dan menguntungkan semua pihak terutama pihak
para terdidik. Jika lembaga pendidikan tidak mengimbangi pasar tenaga kerja,
maka pengangguran akan tetap semakin banyak yang lulusan sarjana, Dan sarjana
hanya bisa menjadi title tanpa bisa mensukseskan lulusan itu sendiri.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa
PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu
menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka
argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di
beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun
biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya
pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk cuci tangan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Orang yang berpendidikan tinggi di Indonesia belum tentu menjamin
orang tersebut mendapat pekerjaan yang layak atau sesuai dengan bidangnya.
masih banyak sekali pengangguran dimana-mana. Mungkin bisa dibilang yang
berpengangguran malah orang yang berasal mdari lulusan sarjana atau disebut
juga dengan mahasiswa, tapi banyak juga orang yang tidak memiliki pekerjaan
lantaran tidak berpendidikan ada yang tidak bersekolah karena alasan tidak
memiliki biaya dan sebagainya.
Tidak meratanya pendidikan yang diberikan
pemerintah seperti di daerah-daerah terpencil, kemudian kurangnya fasilitas yag
memadai untuk menunjang aktifitas pendidikan yang sedang berlangsung yang
menyebabkan tidak kondusifnya proses pengajaran, sumber daya manusia yang
kurang.
Program pemerintahan di Indonesia
terkadang hanya omong kosong seperti contohnya ketika akan diadakannya pemilu
gubernur, presiden. Orang yang mencalonkan menjadi gubernur atau presiden itu
pasti akan memberikan janji agar dirinya dipilih oleh warga Indonesia. Tapi
ketika mereka telah menjadi sosok yang istilahnya telah diberi amanah mereka
akan melupakan janji yang pernah diucapkan ketika mereka dicalonkan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar